Ini sebuah kisah yang direkam secara khusus di dalam Al-Qur’an. Sudah sangatlah banyak orang yang membaca kisahnya—perjalanan Nabi Musa yang belajar sebuah keilmuan kepada seseorang yang misterius, sebab dianggap lebih berilmu. Padahal, pada saat Nabi Musa ditanya oleh kaumnya, bani Israil, tentang siapa orangnya yang dianggap paling pintar, paling sholeh dan alim di kalangan bani Israil pada saat itu, Nabi Musa sudah terlanjur menyatakan dirinya saja yang bisa dikatakan memiliki ilmu tinggi. Lantaran posisinya sebagai seorang nabi yang sudah bisa melibas kekejaman Fir’aun, Nabi Musa juga berkeyakin bahwa dia bisa menjadi orang yang paling sholeh.
Membanggakan diri sebagai yang orang paling pintar ternyata menjadi sebuah larangan dalam beragama. Menyatakan diri sebagai orang paling berkuasa, paling dicinta Allah juga dianggap sebagai dosa. Teguran Allah pun kemudian datang kepada Nabi Musa. Sikap ujub seorang nabi ini kemudian harus ditebus dengan melakukan sebuah perjalanan menemui seorang alim yang tidak tahu dimana rimbanya. Inilah sebuah tugas belajar yang pertama kali diberikan kepada seorang nabi.
Nabi Musa mempersiapkan semua perbekalan yang berguna dalam tugas belajarnya. Dia mengajak salah seorang sahabatanya untuk membawakan perbekalan tersebut. Ada sebuah petunjuk yang tidak sewajarnya bahwa nabi Musa harus berhenti di sebuah tempat dan mencari orang alim yang akan menjadi gurunya apabila ikan kering yang juga menjadi bekal perjalanannya mendadak hidup dan bergerak menuju bentangan air laut yang memiliki dua rasa–asin dan tawar. Di sanalah nabi Musa akan menimba ilmu tinggi, yaitu ilmu yang tidak menjadikan manusianya congkak, sombong dan angkuh. Begitulah cerita bermula.
Perjalanan panjang yang ditempuh oleh dua bersahabat sangat membuat mereka lelah. Mereka merasa perlu beristirahat dan menikmati bekal yang bisa mengenyangkan. Setelah puas dan merasa kenyang mereka beristirahat. Dalam lelap beristirahat, sesuatu yang luar biasa terjadi di depan mata sahabat nabi Musa. Onggokan duri ikan yang berserakan di atas tanah, tiba-tiba menyatu dan menjadi ikan yang hidup. Ikan ini bisa bergerak gesit, dengan cepat menuju permukaan air laut. Kejadian ini tidak diberitahukan kepada nabi Musa yang kelihatan sangat lelah, sedang tidur dengan nyenyak.
Perjalanan dilanjutkan setelah mereka berdua cukup beristirahat. Sambil berjalan, cerita ikan yang secara ajaib berubah hidup menjadi pembicaraan. Dengan kaget dan gusar nabi Musa berkata, “Kenapa tidak engkau ceritakan sedari tadi?! Kita harus kembali ke tempat itu lagi sekarang. Tempat itulah yang sebenarnya kita cari selama ini. Kita tidak akan pernah berhenti selama kita belum melihat kejadian luar bisa seperti yang kamu ceritakan.” Mereka berjalan cepat menuju sekolah baru untuk nabi Musa. Belum diketahui siapa kepala sekolah atau guru yang bisa menerima pendaftarannya. Kurikulumnya juga tidak mendapatkan sertifikat ISO yang setara dengan standar kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah yang mengaku berstandar internasional.
Akhirnya nabi Musa bisa mengakhiri perjalanannya. Dia sudah mendapatkan sekolah baru, kepala sekolah baru dan guru baru. Meskipun tidak menuliskan formulir pendaftaran, nabi Musa berjalan menemui gurunya agar diterima sebagai murid serta mendapatkan pelajaran-pelajaran yang berguna. Orang yang ditemui memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan keterangan dalam tugas belajar. Orang inilah yang dikatakan lebih alim dari nabi Musa.
Serta merta didekatinya orang alim itu, dan nabi Musa lalu menyampaikan apa maksud kedatangannya, memintanya untuk menjadikannya murid agar diajari berbagai ilmu. Tanggapan dingin terlihat dari pancaran wajah orang tua itu. Dia seperti tidak mendengar, atau sepertinya sengaja tidak telalu menanggapinya. Permintaan untuk dijadikan murid itu berulang sampai tiga kali sampai kemudian orang alim sedikit merespon. “Wahai anak muda. Engkau ini adalah pimpinan bani Israil yang terkenal cerdas dan mendapat berkah dari Allah. Bagaimana bisa engkau meminta aku mengajarimu suatu ilmu, yang meski sesederhana apapun?” Ucapan ini menunjukkan sikap yang enggan pada orang tua tersebut. “Tetapi ini adalah perintah Allah yang tidak saya menolaknya. Saya wajib berguru dengan kondisi apapun. Saya wajib mengikuti kemana pun guru akan pergi sampai akhirnya saya mendapatkan pelajaran yang berharga bagi saya pribadi dan bani Israil.”
Argumentasi orang alim dan calon muridnya itu berlangsung agak lama. Meskipun pada akhirnya orang alim itu mengijinkan nabi Musa mengakuinya sebagai guru, dia memberikan syarat tidak akan terlalu banyak komentar selama perploncoan menjadi murid barunya. Ditambah lagi dengan satu ungkapan darinya: “Engkau tidak akan bersabar bersamaku! Apabila engkau sudah terlalu banyak berkomentar, maksimal tiga kali, terhadap apa saja yang aku perbuat maka engkau meninggalkan aku dan kembali kepada kaummu.” Dari sini, kesepatan ditetapkan.