Tidak Dalam Kepastian

Sudah tujuh tahun sekarang. Tapi pikiran di dalam kepala ini masih saja mengatakan kalau aku tidak salah dan mendapatkan satu perlakuan yang tidak adil dari penguasa di Kemenag Bojonegoro, yaitu sejak Maret 2016. Bad news, guys!

Seperti yang pernah dikatakan oleh ibuku menjelang wafatnya, aku tidak ikhlas. Aku tidak terima didholimi seperti ini. Fitnah itu menjadi sebuah catatan hitam dari karir seorang guru yang terpaksa melepaskan predikatnya sebagai orang yang digugu dan ditiru. Aku tak boleh mengajar lagi sejak itu.

Advertisement

Apa Artinya Seragam!

Pernah teringat dengan sebuah adegan pada novel “Julius Caesar” karya Shakespeare yang terkenal itu. Saya tidak membaca banyak. Tetapi adegan pertama ketika seorang prajurit istana yang menginterogasi sekelompok orang yang tidak berseragam berkerumun di sekitar pasar. Heboh dan seru ceritanya. Begitulah kalau orang yang punya aturan ngobrol dengan orang yang tidak usah memakai aturan, yang kalau di daerah saya, Bojonegoro disebut “nyamin!, maklum karena begitulah budaya orang Samin.”

credited from https://www.pdfdrive.com/julius-caesar-e18877698.html

Kalau mengerti bahasa Inggris, saya rasa tak perlu saya menerjemahkan. Intinya, saya mencoba mengingat peristiwa pagi tadi, yaitu ketika istri saya menanyakan kenapa saya tidak memakai seragam. “Kenapa seragamnya tidak dipakai sekalian?” Saya diam saja. Tetapi tak lama kemudian saya menjawab, “Kalau saya masih tetap menjadi ‘guru’ mungkin saya pakai sekarang. Saya kuatir nanti dianggap ‘guru’ sama orang-orang.” Jadi saya masih saja ingat dan berasa tidak nyaman dengan status kerja sekarang. Pernah jadi guru, dilepas statusnya dan dialihkan menjadi JFU yang bukan guru. Terasa sakitnya.

Dari situlah saya teringat dengan dialog orang-orang tempo dulu. Mereka, ternyata sudah meributkan persoalan baju seragam sebagai ciri status kerja yang dijalani. Tidak memakai seragam bisa saja dibilang: bodoh, malas atau pengangguran. Sakit tidak? Bagi mereka yang tahu, ya biasa-biasa saja. Tidak ada masalah yang perlu diributkan sampai harus merasa sakit hati segala.

Tetapi dalam urusan sosial sungguh berbeda permasalahannya. Masyarakat umum tidak pernah peduli dengan urusan perasaan. Mereka hanya mengenal dengan aturan dan norma susila, dimana orang yang tidak mengindahkan akan dikenai sanksi sosial–minimal dengan cemoohan. Kalau hukum sosial sudah diterapkan, kita yang akan merasakan beratnya.

Balik lagi ke masalah bisik-bisik saya dengan istri di pagi ini. Saya memang merasa tidak ngeh kalau terlalu ketat menerapkan tatanan sosial, khususnya untuk masalah seragam. Menjadi guru dan dianggap guru adalah persoalan yang berbeda. Saya tidak mau hanya dianggap guru. Apalagi hanya karena saya memakai seragam seperti seragam guru!

MTs Negeri 5 Bojonegoro, 23 Nopember 2020

Over Loud Noises

Ternyata berpikir jernih itu agak sulit dilakukan kalau di sekitar kita ada banyak suara bising. Aku yakin kalian mengerti maksud pernyataan ini. Aku benar bisa menikmati kalau ada musik mengalun dengan merdu. Bagaimana kalau banyak orang ngobrol yang kita sendiri tidak jelas arah pembicaraannya. Apalagi kalau kita terlibat di dalamnya.

Bojonegoro, 17 Nopember 2020

Aku bukan diriku sendiri

Sebesar apa pula sebuah titik kecil itu biasa mengatakan, “Inilah aku!” Aku hadir kalau memang dianggap perlu, dan kalau tidak perlu semuanya akan menjadi milik bersama. Analogi ini pun salah ketika disadari bahwa sebenarnya “aku” tidak berkuasa apa-apa. Bahkan untuk hidupnya sendiri. Ada kekuasaan besar yang menguasai dan memberi pengaruh pada kehidupannya. Aku bukan siapa-siapa.

Aku bisa muncul dan bisa tenggelam. Suatu saat ada dorongan besar di dalam diri ini yang mengatakan perlunya aku bersuara dan berbuat sesuatu yang bermakna. Wujud dorongan itu tak kasat mata sehingga orang lain menganggap tak ada bedanya. Antara ada dan tiada, namun pengaruh dorongan itu luar biasa. Aku memerlukannya.

Bacaan yang baik untuk seorang guru

Ketahuilah, setiap saat orang perlu mencari referensi apik untuknya agar bisa menjalani hidup tanpa takut dan tanpa ragu. Inilah nilai yang aku percaya. Hal ini tidak mungkin lagi dielakkan. Aku sudah terbiasa dengan adat yang melek bacaan ini.

Ternyata aku sependapat dengan Gus Dur yang bilang “tidak perlu dituliskan” saja. Apa saja yang bisa dilafalkan di pikiran dan di hati, itulah bacaan. Tentu saja, pada taraf yang masih latihan lisan harus bisa mengucapkan dan melafalkan bacaan-bacaan itu. Kata demi kata yang melintas di pikiran adalah bacaan. Kalimat yang berkesan cukup dalam di hati adalah bacaan pula. Bibir yang dengan tegas menyuarakan adalah bukti ketegasan bacaan hidup kita.

Jangan pernah bermain-main dengan pikiran dan hati. Karena kita adalah manusia, maka hati dan pikiran adalah sarana protokoler yang mengarahkan acara kehidupan entah maunya bahagia atau bahagia selamanya.

Ingat dengan ungkapan “Garbage In, Garbage Out!” yang pernah terdengar pertama kali sewaktu belajar teknologi informatika? Hidup ini sejalan saja. Begitu baik yang menjadi umpan, maka baik pula ikan yang didapat. Kalau buruk? Jangan berharap dengan yang baik-baik. Mengalirkan kata-kata yang baik adalah sesuatu yang sangat dianjurkan.

Pilihlah bacaan yang baik. Kenapa sih? Bayangkan dengan orang-orang yang suka sekali mengumpat. Apa sih yang dia ucapkan kalau dia sedang marah? Kampret! Sontoloyo! Monyet! Kerbau! Anjing! Kodok! Cebong! Genderuwo! Wah, jadi ahli ruapanya. Semua yang buruk akan berdatang dan efeknya akan membuat pikiran lebih kalut. Semakin tidak suka. Semakin marah. Semakin benci saja. Padahal, kata-kata yang keluar dari mulut seseorang adalah cerminan apa yang ada di hati dan pikiran. Kalau sukanya itu hanya umpatan-umpatan kasar, berarti kita ini orang yang kasar juga.

Peringatan bersahaja saja. Jangan mengumpat.

Sekarang ini menjadi titik balik. Aku jadi kepikiran kata-kata baik apa yang seharusnya menjadi perbendaharaan hidup kita sehari-hari. Jangan sekarang, ah! Aku masih harus berpikir dulu. Aku perlu mencari referensi juga.

balance business cobblestone conceptual
Photo by Pixabay on Pexels.com

Ramadhan 2019 Itu Ketiganya

Sudah berapa lama tidak mengajar di sekolah? Kenapa harus keluar dari situ kalau kamu memang tak suka? Itulah dua pertanyaan yang sering muncul dan ditanyakan kepadanya.

Bukan karena dia memang bersalah atau justru tidak bisa menjelaskan secara terbuka. Bukan dua-duanya. Dia sudah sering menceritakan kejadian-kejadiannya dengan runtut, mulai dari awal sampai akhir sehingga dia pun terpaksa meninggalkan tugasnya sebagai guru. Kepada siapa saja dia akan mengungkapkan fitnah serta ketidakadilan yang dia alami. Terlalu sering. Dan dia putuskan berhenti mengumbar kata-kata secara lisan. Cukup, katanya. Ini bukan gayanya lagi. Dia tidak mau lagi menjadi sakit hatinya melepuh dan menjadi borok.

Tahun 2016 adalah awal penistaan jati diri guru. Dia berstatus guru bahasa Inggris di sekolahnya. Waktu itu orang yang meniti karir mulai dari staff administrasi memimpin sekolah. Dia bukan pimpinan yang disukai anak buahnya karena sikapnya yang arogan dan suka memaksakan kehendak.

 

Sabar, Kapan Batasannya?

Semalam aku sudah memulainya. Tema yang tampak seperti orang-orang suci aku tuliskan sekitar jam 0.00 WIB. Satu tema yang membahas perenungan.

Sekarang sudah siang, jam di laptop saja mengatakan 14.00. Tahu kan, suasana puasa di hari pertama. Jangan tanya lagi! Ya begitulah. Mau makan, terhalang niatan puasa. Mau tiduran, eh ini masih jam kerja. Aku tahu, teman-teman satu ruangan berlagak sibuk. Sepertinya begitu. Tidak ada yang benar-benar menyelesaikan tugas kantor. Kalau aku kan memang tidak pernah dikasih pekerjaan. Aku sudah makan gaji buta memang.

Tahu kebiasaan kalau hari sudah siang begini?Kalian ngapain? Cari makanan. Ngopi? Oh, benar. Ada yang suka tidur saja. Terus?

Sebentar! Dari tadi omongan seperti melantur ke mana-mana. Kapan judulnya itu akan dituntaskan dalam sekilas ulasan saja? Kapan?. Aku bilang, “Sabar!” Sampai kapan? Ya, sampai kapan? Bisa sabar? Sampai kapan? Tidak, aku hanya bertanya, “Bisa sabar?”

20190506_074934

Entahlah. Kalian ini tanya-tanya terus. Aku sendiri tak tahu. Minimal biarkan mobil kepala kantor hilang dari peredaran. Biar kepalanya pulang.

 

Bojonegoro, ……2019

Ketika aku menghadap ke arah Erma

 

 

Merenung Di Awal Ramadhan 2019

Inilah malam pertama menjelang puasa pertama hari esok. Aku lihat tampilan tanggal sisi pojok bawah layar laptop tertulis 5 Mei 2019. Aku mencoba menengok lagi blog di wordpress yang lama tidak aku sentuh. Sengaja tidak sengaja, aku lakukan ini. Aku tidak meminta maaf kepada wordpress atau kepada blog yang aku miliki ini. Bah, ternyata aku sudah sampai hitungan tahun ketiga dan sekarang adalah ramadhan ketiga juga. Tiga tahun yang aku jalani tanpa makna, tanpa harga diri dan tanpa percaya kalau ini benar-benar terjadi dalam hidupku.

Kamu masih waras? Mengapa kamu harus berkeluh kesah dan kamu tuliskan sendiri media yang nantinya akan dibaca oleh banyak orang? Kenapa tidak kamu nikmati atau rasakan sedniri saja? Seberat apapun, pendam dan kuburkan dalam-dalam. Nasehat itu lagi yang muncul. Serbuan protes sekaligus nasehat itu muncul di kepala, balik ke dalam hati dan berputar melayang ke kepala lagi.

img_20190505_044959_630Aku akan terus melawan ego yang ada di dalam  genggamanku. Tidak ada yang menghasut untuk masalah perlawanan ini. Memang aku sendiri yang memutuskannya. Keberanian untuk melawan itu merupakan satu hasil ramadhan dari tahun ke tahun. Dia guru yang baik, dan bahkan terlalu baik untuk akau yang sudah melakukan metamorfosa diri.

Untuk apa ramadhan datang kalau bukan untuk menjadi guru bagi aku, seorang murid yang nakalnya luar biasa ini? Seorang figur guru yang tidak ada bandingan, kalau aku mau mencarinya sekalipun. Terlalu banyak kata-kata dan perbuatan yang aku lakukan,  terarah menyimpang dari garis kebenaran. Ramadhan datang lagi dan lagi membenahi.

Katanya, “Berpuasalah mulai besok. Tidak makan, tidak minum dan tidak bermain cinta meski dengan pasangan sah. Tahan semua pada waktu-waktu yang ditetapkan. Setelah berbuka, kamu bebas lagi menikmati apa yang dihalalkan oleh Allah.” Aturan sederhana dulu untuk mengawalinya. Akal sehat yang digunakan untuk menjalani ibadah puasa ini. Orangnya juga harus cukup dewasa untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Inti pelajarannya adalah mengendalikan diri, menahan hawa nafsu.

Siapa sebenarnya yang memberikan kewajiban puasa ini? Semua orang tahu! Tidak ada tuhan yang pantas dipatuhi aturannya kecuali Allah. Murni, pengabdian hidup manusia hanya untuk berserah diri kepada Allah. Seluruh kekuasaan yang ada di langit dan bumi ini tunduk kepada kekuasaan tunggal yang dikuasai Allah. Camkanlah nilai keyakinan ini di dalam hati, pikiran dan perbuatan. Tujuan utama dari puasa adalah agar kamu lebih kuat ketakwaannya.

Percayalah, banyak sekali perbuatan maksiat yang terjadi di kehidupan manusia. Aku juga manusia. Tak ada manusia yang bersih tanpa dosa dan maksiat. Semuanya sudah diketahui oleh Dzat yang tinggi kekuasaannya. Malaikat pun memiliki catatan yang sangat akurat. Ramadhan adalah waktu yang sangat mulia untuk digunakan merefleksi diri. Jadilah manusia yang semakin bertakwa.

Bojonegoro, 5 Mei 2019

 

Ketika dikatakan “Wa kuntum kaum buuro.”

Sebenarnya nyesek juga perasaan hati. Aku tidak bolehkan menjalani amal kebaikan yang biasa dilakukan oleh guru-guru di sekolah atau madrasah. Pandangan sinis plus sengir ditujukan kepadaku kalau ada orang yang berani mendekati. Pangalaman ketika aku datang ke sebuah pesta pernikahan di Lamongan, ada seseorang yang menatap dengan tatapan mata bergaya seperti penyelidik persis ketika dia mengajak ngobrol. Aku tak ambil pusing. Namun, peristiwa demi peristiwa semacam itu cukup berkesan di dalam benakku. Aku tak bisa lupa. Ada beberapa orang yang merasa dekat dengan aku pun berani berkata-kata kasar dan tak pantas oleh orang-orang yang ‘semestinya’ sudah terdidik. Kini aku berada dalam kondisi sulit, meskipun aku juga tidak terlalu peduli.

Subuh yang kudus, aku belum mandi

Wattaqullah. Besok itu hari Jum’at. Sudah pasti sekarang ini adalah malam harinya. Ini adalah kesmpatan bagi semua insan yang beriman untuk menyiapkan diri menyambut hari yang suci esok hari. Aku sering tahu, orang-orang melakukan acara tahlilan serta membaca surat Yasin. Aku juga membaca, bacaan yang disunahkan di antaranya juga termasuk AL-Mulk, Ar-Rahman dan Al-Waqi’ah. Disebutkan juga sunah membaca surat Al-Kahfi yang mendapatkan porsi tinggi dalam ritual amalanku sehari-hari. Semuanya belum aku jalani. Aku sendiri belum mandi.

Orang beriman itu takwanya kepada Allah saja. Bukannya takut kepada sesama manusia yang statusnya sesama hamba. Peringatan takwa, yang diucapkan khotib Jum’at, selalu akan ditambahi dengan nasehat “janganlah kalian mati kecuali dalam posisi berislam”. Islam itu jalan keselamatan yang ditempuh oleh semua orang yang mengaku beriman. Takwa kepada Allah berarti orang harus melakukan dan menganjurkan kebaikan hidup selamanya. Tidak pernah berhenti dalam usaha berbenah diri. Tidak banyak yang tahu kalau iman dan takwa itu letaknya ada di dalam dada. Bisa naik, dan bisa turun adalah hal yang biasa. Manusianya saja yang harus membuktikan perjuangannya untuk berada di jalan Allah. Salah satu caranya adalah dengan benar-benar menjaga hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik sesama manusia. Dalam kelanjutannya, muncul istilah ihsan. Ini berarti pembuktian dari semua amal perbuatan. Look at the way Allah teaches bayyinah kepada semua manusia.