Haji adalah puncaknya ibadah, seperti yang disebut di dalam rukun islam. Aku pernah membaca sebuah hadits nabi yang melakukan tanya jawab dengan malaikat Jibril, dan para sahabat menyaksikan percakapan mereka berdua. Tanya jawab itu tentang tiga hal penting di dalam beragama Islam, yaitu islam, iman dan ihsan. Di waktu menjawab satu pertanyaan yang pertama, tentang islam, nabi menyebutkan ibadah haji.
Sudah haji atau belum haji menjadi inspirasi tulisan pada saat ini. Aku memang belum bisa menjalankan ibadah haji, sebab suatu keterbatasan terkait masalah finansial. Aku tidak sama dengan teman-teman guru yang sudah memenuhi tugas islamnya. Aku pikir dengan yakin saja bahwa islam mereka sudah sempurna. Mereka memang bernasib baik dan selalu baik dalam mengatur keuangan mereka. Mereka jelas tidak merokok dan suka menabung. Di antara mereka, suami istri sama-sama bekerja. Uang sertifikasi yang mereka utuh menjadi tabungan yang bisa dimanfaatkan. Bukan hanya itu barangkali. Mereka pasti sudah berniat baik untuk benar-benar ikhlas menjalankannya.
Aku memang guru yang ketinggalan zaman. Tidak mau mengupdate status keimanan dan terus berburu kebaikan seperti mereka yang selalu mengumandangkan pentingnya “fastabiqul khoirot”. Aku selalu berpikiran apa adanya. Tidak ada istimewanya. Sukses menjadi guru, dalam pikiran dan perasaan, hanya sebatas berbuat sebaik mungkin pada aktivitas mengajar dan menulis di blog yang “kurang ajar”. Kalau mengambil istilah dari seorang teman yang sudah menjadi dosen, menulis itu perlu berpikir tentang sisi-sisi “produktif”. Aku ini sudah terlanjur memiliki sekitar 30 blog, yang kalau dilihat dari sisi-sisi produktivitasnya, aku belum belum bisa menghasilkan tambahan keuangan. Kalau ngeblog dan tidak menghasilkan apa-apa yang bisa membanggakan mungkin saja bisa dikatakan “rugi” yang besar. Tidak berburu uang dan kekayaan adalah sebagian kondisi yang menempel pada statusku sebagai guru. Aku tidak bisa menghindari hutang. Tambal sulam dalam masalah keuangan ini menjadi cerita yang berkepanjangan.
Belum pernah menjalankan ibadah haji pun aku masih bisa menghargai dan salut pada mereka yang pulang dari Mekah dan Madinah dengan menyandang predikat haji. Aku pikir ibadah menjadi “sakral”, dengan alasan aku belum bisa memenuhinya. Aku sangat ingin mendapatkan kesempatan yang mulia itu. Namun, aku harus berani berkaca diri. Ibadah ini hanya ditujukan kepada mereka yang beriman, dan mampu menjalaninya.
Nilai haji itu dianggap sukses kalau bisa “mabrur”. Sementara itu, meskipun sudah pergi menjalankan ibadah haji, sekali atau dua kalau, kalau tidak sukses selalu akan disebut “mardud”. Disebutkan, “Dan, tiada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga.” (HR Bukhari: 1683, Muslim: 1349). Nabi SAW bersabda, “Jihad yang paling utama bagi kamu (kaum perempuan) adalah haji mabrur.” (HR Bukhari).
Ibadah haji dinilai mabrur apabila memiliki beberapa kriteria sebagai berikut. Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata menghadap ridha Allah SWT. Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, yakni syarat, rukun, wajib, bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi.
Ketiga, biaya, baik untuk ibadah haji, biaya perjalanan, maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan, diperoleh dengan cara yang halal. Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.
Haji mabrur juga dicapai oleh orang yang melaksanakannya sesuai dengan syarat, wajib, dan rukunnya, dan saat melaksanakannya dia tidak melakukan kemaksiatan. Yang dimaksud dengan haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud.
Banyak ulama menyatakan ciri-ciri dari haji mabrur. Menurut para ulama, ciri yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat belajarnya, meningkat usahanya untuk keluarga, juga meningkat semangat pengajiannya. Hubungan dengan keluarganya dan semangat membina anak-anaknya untuk beribadah semakin meningkat setelah pulang dari ibadah haji.
Derajat kemabruran akan dicapai seorang jamaah apabila melaksanakan haji sesuai dengan aturan syariat yang memenuhi syarat dan rukunnya, serta mengerjakannya dengan ikhlas. Silahkan membaca republika.co.id
Ada cerita yang panjang tentang haji dan belum haji dalam pikiranku. Tetapi aku masih harus mengerjakan kewajiban sholat maghrib dulu. Dan, ternyata aku baru bisa terus melanjutkannya setelah pulang dari “bakti sosial” menjemput seorang tetangga.
Secara syar’i orang menjalankan ibadah haji dengan niatnya, pergi ke tanah haram di Mekah dan berziarah di Madinatul Munawarah. Ada niat, memakai baju ihram, tawaf, sya’i, wukuf di Arafah, melempar jumroh dan tahalul. Di sanalah, orang kembali lagi mempertegas syahadatnya bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan menganut sunnah nabinya. Di sana pula, orang kembali melihat bahwa derajat manusia itu sama. Pada mabrurnya ibadah haji, sekembali ke tanah air, jamaah haji berkewajiban menjaga nilai mabrur itu. Kemabli lagi dia menguatkan kesetaraan nilai manusia. Ibadah haji tidak dilihat sebagai prestise sehingga hanya kebanggaan saja yang dibawa pulang. Bukan karena haji lantas orang itu membeda-bedakan dirinya dengan mereka yang belum ada rejeki dan kesempatan menjalaninya. Bukan karena sudah tahalul, semua sifat jahat bisa kita sandang kembali.
Nilai ibadah haji juga bisa dimaknai simbolis dan kita mengambil makna hakikinya. Ini yang jarang dimengerti oleh orang islam. Hidup dan aktivitas menjalani hidup ini pun juga bermakna ibadah yang beratnya juga senilai dengan ibadah haji. Dalam pemikiran orang yang belum haji seperti aku, niatan untuk menyimak “wa la fusuko wa la jidala fil hajj” bisa juga menjadi nilai yang perlu diteruskan. Intinya, ibadah ini mengajarkan satu sikap damai yang perlu ditindaklanjuti. Kehidupan sehari-hari pun, kalau manusia itu bersikap reseh, dia berada dalam posisi “mardud” seperti mereka yang berhaji tapi tidak membawa keberkahannya ibadah. Aku sendiri pernah lancang berkata, “Bukan hajinya yang penting, tetapi bisa ngajeni atau menghormati itu yang lebih bermakna”. Alasan dari pernyataan itu, menurut apa yang aku yakini, adalah bahwa orang yang tidak bisa lagi menghargai orang lain hanya karena orang itu belum berhaji. Orang tidak dinilai berharga lagi terutama kalau tidak mau menghormat kepadanya.
Aku termasuk orang yang tidak bisa menyiapkan cukup keuangan guna berangkat haji sekarang ini. Apalagi, ada orang yang sudah bergelar haji akan tetapi telah sengaja dan berniat untuk “membusukkan” aku, dan tidak memberi kesempatan aku berkarya. Dari sekian banyak alasan yang terucap dia bilang, “Kamu kan tidak pernah haji!” Jadi guru yang aku sandang pada saat ini hanya statusnya saja. Ini yang jadi pikiranku sekarang. Kapan aku bisa menunaikan ibadah haji kalau bekerja saja sudah tidak dipercaya?
Selanjutnya, dengan mengambil makna pembelajaran hidupku sendiri, aku hanya akan kembalikan semua urusan hidup ini kepada yang “berkuasa” memberi kehidupan ini. Kalau memang aku diwajibkan ikhlas, sabar, tawakal dan istiqomah, persis seperti apa yang pernah aku dengar dari mereka yang berhati mulia dan mau memberikan nasehat, maka hanya mengingat Allah. Semua ini ada dalam kehendak dan kekuasaannya.
Aku percaya, ibadah haji adalah sebuah proses pencapaian, dan bukan hasil akhirnya. Dengan menulis ini aku berusaha melakukan sebuah proses pendekatan diri kepada ilahi robbi, Dzat yang maha mendengar dan paling bisa dipercaya. Aku berhaji dalam proses penulisan makna hidupku sendiri.