Tidak Dalam Kepastian

Sudah tujuh tahun sekarang. Tapi pikiran di dalam kepala ini masih saja mengatakan kalau aku tidak salah dan mendapatkan satu perlakuan yang tidak adil dari penguasa di Kemenag Bojonegoro, yaitu sejak Maret 2016. Bad news, guys!

Seperti yang pernah dikatakan oleh ibuku menjelang wafatnya, aku tidak ikhlas. Aku tidak terima didholimi seperti ini. Fitnah itu menjadi sebuah catatan hitam dari karir seorang guru yang terpaksa melepaskan predikatnya sebagai orang yang digugu dan ditiru. Aku tak boleh mengajar lagi sejak itu.

Advertisement

Apa Artinya Seragam!

Pernah teringat dengan sebuah adegan pada novel “Julius Caesar” karya Shakespeare yang terkenal itu. Saya tidak membaca banyak. Tetapi adegan pertama ketika seorang prajurit istana yang menginterogasi sekelompok orang yang tidak berseragam berkerumun di sekitar pasar. Heboh dan seru ceritanya. Begitulah kalau orang yang punya aturan ngobrol dengan orang yang tidak usah memakai aturan, yang kalau di daerah saya, Bojonegoro disebut “nyamin!, maklum karena begitulah budaya orang Samin.”

credited from https://www.pdfdrive.com/julius-caesar-e18877698.html

Kalau mengerti bahasa Inggris, saya rasa tak perlu saya menerjemahkan. Intinya, saya mencoba mengingat peristiwa pagi tadi, yaitu ketika istri saya menanyakan kenapa saya tidak memakai seragam. “Kenapa seragamnya tidak dipakai sekalian?” Saya diam saja. Tetapi tak lama kemudian saya menjawab, “Kalau saya masih tetap menjadi ‘guru’ mungkin saya pakai sekarang. Saya kuatir nanti dianggap ‘guru’ sama orang-orang.” Jadi saya masih saja ingat dan berasa tidak nyaman dengan status kerja sekarang. Pernah jadi guru, dilepas statusnya dan dialihkan menjadi JFU yang bukan guru. Terasa sakitnya.

Dari situlah saya teringat dengan dialog orang-orang tempo dulu. Mereka, ternyata sudah meributkan persoalan baju seragam sebagai ciri status kerja yang dijalani. Tidak memakai seragam bisa saja dibilang: bodoh, malas atau pengangguran. Sakit tidak? Bagi mereka yang tahu, ya biasa-biasa saja. Tidak ada masalah yang perlu diributkan sampai harus merasa sakit hati segala.

Tetapi dalam urusan sosial sungguh berbeda permasalahannya. Masyarakat umum tidak pernah peduli dengan urusan perasaan. Mereka hanya mengenal dengan aturan dan norma susila, dimana orang yang tidak mengindahkan akan dikenai sanksi sosial–minimal dengan cemoohan. Kalau hukum sosial sudah diterapkan, kita yang akan merasakan beratnya.

Balik lagi ke masalah bisik-bisik saya dengan istri di pagi ini. Saya memang merasa tidak ngeh kalau terlalu ketat menerapkan tatanan sosial, khususnya untuk masalah seragam. Menjadi guru dan dianggap guru adalah persoalan yang berbeda. Saya tidak mau hanya dianggap guru. Apalagi hanya karena saya memakai seragam seperti seragam guru!

MTs Negeri 5 Bojonegoro, 23 Nopember 2020

Mengukur ketidakwarasan, setelah 19 bulan tidak bersekolah

Tidak ada yang tahu kalau aku mengalami sindrom hari Senin. Ada kecemasan dan rasa takut untuk menghadapi hari-hari kerja sebagai pegawai negeri. Sekolah tempat dinasku yang berada di Jl. Mongindisi 160, Desa Sukorejo, kecamatan kota Bojonegoro tidak lagi memberi kebanggaan dalam kurun waktu 19 bulan berjalan. Aku “diusir” kepala sekolah saat itu. Setelah itu aku hanya “lontang-lantung persis wong mbambung”. Sebenarnya aku merasakan kesedihan yang sangat setiap harinya, bahkan setiap detik pikiranku pun terpaku pada satu masalah, “Kapan aku bisa kembali ke kelas?” Pagi hari ini istriku sempat mengingatkan, “Jangan bermimpi.”

Stress, depresi, dan frustasi adalah tiga kata sandang untuk orang mengalami masalah kejiwaan. Banyak orang yang mengalaminya. Aku tidak pernah bermimpi untuk ikut-ikutan dalam kelompok mereka. Sudah menjadi masalah yang klise kalau aku terus saja teringat kondisi “pengangguran” yang aku alami. Sementara usahaku untuk meluruskan permasalahan “perselisihan” di sekolah dan di kantor Jl. Patimura sudah aku tempuh. Aku memang menjadi bosan untuk berpikir adanya keajaiban dari pihak yang menuduh aku “tidak waras”. Bagaimana tidak aku katakan begitu? Dia adalah orang yang sudah mengintimidasi istri dan keluargaku di Surabaya agar aku segera dibawa berobat ke rumah sakit jiwa. Mungkin mereka berhasil membingungkan semua orang. Namun, aku yang menjadi “korban” dalam persoalan ini bersikukuh bahwa aku masih “waras”.

Setiap hari aku harus berpura-pura sebagai pegawai negeri sipil. Aku menggunakan baju seragam dan atribut layaknya mereka yang aktif dinasnya. Setelah berualng kali pemindahan tempat kerja–kantor pendma, MA Ibnu Hajar Bendo, kantor pendma, dan berujung ke MTsN Kepohbaru, aku sama sekali tidak mendapatkan porsi tugas yang jelas. Istilah tukang becak yang sempat aku dengar untuk kondisi ini adalah “ora sepiro kanggo”. Perjalanan hidup seperti ini sangat berat. Saat terakhir aku berusaha memberi penjelasan kepada kasubag TU di kantor kemenag, katanya aku harus istiqomah. Apa artinya? Aku diminta tetap pergi ke MTsN Kepohbaru, apa pun resikonya. Dalam hati dan juga sudah aku katakan kepadanya, “Ini sangat berat di ongkos. Kalau misalkan aku mendapatkan tugas mengajar, barangkali aku bisa siap menjalani. Ternyata di sana aku tidak diberi tugas mengajar. Kepala sekolah juga berharap aku meminta ditempatkan lagi di kantor atau di mana saja yang dekat dengan rumah”. Aku tidak memahami dasar pemikiran mereka semua. Sementara aku masih merasa perlunya sehat badan, pikiran dan perasaan. Aku maunya tetap waras dengan tidak bingung setiap hari seperti ini.

Prasangka dan tuduhan tentang ketidakwarasan yang aku alami ini selama ini sangat jelas. Ada seorang karyawan di kantor itu yang sering menyapa dengan sapaan yang aneh bagiku, “Waras ta?” Itu berulang-ulang diucapkan. Di pagi hari ini juga, aku sudah mendapat ucapan selamat pagi dengan pertanyaan, “Buat apa datang pagi-pagi?” Aku jadi bertanya, buat apa lagi hidup seperti ini.

f9174df73f60feec3a6c3f63f49e660eAku mengingat kembali pernyataan seorang teman di sana, “Sampeyan iki apa? Kalau memang guru kenapa tidak mengajar di sekolah. Kalau memang staff kantor, kenapa juga tidak pernah memegang pekerjaan apa-apa di kantor?” Orang ini benar dalam pernyataannya. Aku tidak berperanan seperti layaknya seorang guru. Saat itu aku berpikir kalau masa transisi adalah masanya beradaptasi. Ternyata tidak benar.

Ada rekayasa pembunuhan karakter dalam kasus yang aku alami. Segala prasangka mereka itu memang sengaja dipasang agar aku menjadi “gila” dan pasti akan menjadi tidak waras. Mereka tentu saja orang luar biasa benarnya. Buktinya, mereka sedang menjalani ibadah haji. Mereka orang-orang yang suci dalam semua perbuatan mereka. Sementara aku, bingung sendiri di sini.

Kota ini memang tidak memberikan keadilan bagiku. Aku mampir di sini bukan hanya untuk minum kopi. Aku mengabdikan hidup dan sudah membina rumah tangga. Patut disyukuri ada tiga anak yang semua bersekolah di Bojonegoro ini. Anakku yang pertama sedang kuliah di UIN Sunan Ampel. Anak kedua, yang suka sepak bola, bersekolah di SMAN 2 Bojonegoro. Anak terakhir masih kelas 5 di MIN Kepatihan. Bapaknya saja yang harus bingung plus linglung karena tidak bersekolah seperti mereka. Jadilah aku saat ini sebagai seorang bapak yang tidak bekerja. Aku adalah guru yang “tidak berguna”.

Aku agak heran dengan sistem birokrasi di kantor. Aku juga heran bagaimana mereka juga mengajari istrinya untuk berkata-kata setelah keputusan “mengambang” agar aku mengalami sindrom “pengangguran” ini. Ada yang bilang, “Sampeyan kan masih dapat gaji setiap bulannya!” Apa artinya kata-kata itu? Mantan kepala sekolah yang sekarang berdinas di Rengel juga bilang, “Kalau di kantor, bapak akan bisa mendapat tunjangan kinerja.” Ada lagi yang mengatakan dengan tegasnya, “Sampeyan gak usah bingung. Ini masalah biasa di kantor. Ambil gampangnya saja, habis absen sampeyan pulang untuk memberi makan ayam. Nanti kalau sore datang lagi ke kantor untuk absen. Tidak usah dipikir “seru-seru”. Jalani saja”.

Aku sudah makan bangku sekolah sekian lama. Apa yang aku hadapi sekarang ini tidak pernah menjadi persoalan yang diujikan selama di SD, SMP, SMA, perguran tinggi dan pasca sarjana. Aku masih bersekolah dengan menjalani tugas sebagai guru selama 23 tahun. Tidak pernah dipertanyakan. Bagaimana sikap guru kalau dianggap tidak waras? Ini baru aku saja yang mengalami pertanyaan ini sekarang.

Aku akan selalu ingat kejadian demi kejadian yang ada sampai aku berposisi seperti sekarang. Sementara itu, aku masih saja membaca buku-buku tentang pembelajaran bahasa Inggris. Obsesi menjadi guru masih sangat kuat. Apa saja yang aku lakukan agar tetap waras? Aku tidak membingungkan semua pandangan salah yang sempat terlontar di sekolah, di kantor dan di lingkungan keluarga atau tetangga. Aku memilih kata-kata yang benar agar aku masih bisa beraktivitas sehari-hari dengan normal. Memang tidak lagi bekerja di sekolah seperti layaknya. Aku hanya bertugas menjaga pikiran sehat. Ini aku lakukan dengan menulis. Aku bertugas menjaga hati agar tidak terlalu sedih dengan ujian hidup ini dengan masih rajin membaca Al-Quran dan sholat lima waktu. Aku wajib menjaga gengsi di hadapan Allah yang mengetahui semua kejadian di atas muka bumi ini. Oleh karena itu, aku berkeyakinan bahwa mereka yang menyakiti perasaan dan juga membunuh karakter sesama muslim itu adalah orang-orang yang lupa. Hanya Allah yang bisa memberi peringatan kepada mereka. Aku sudah berusaha layaknya manusia. Terserah Allah saja.

Menulis, kalau aku belum pergi haji

Haji adalah puncaknya ibadah, seperti yang disebut di dalam rukun islam. Aku pernah membaca sebuah hadits nabi yang melakukan tanya jawab dengan malaikat Jibril, dan para sahabat menyaksikan percakapan mereka berdua. Tanya jawab itu tentang tiga hal penting di dalam beragama Islam, yaitu islam, iman dan ihsan. Di waktu menjawab satu pertanyaan yang pertama, tentang islam, nabi menyebutkan ibadah haji.

Sudah haji atau belum haji menjadi inspirasi tulisan pada saat ini. Aku memang belum bisa menjalankan ibadah haji, sebab suatu keterbatasan terkait masalah finansial. Aku tidak sama dengan teman-teman guru yang sudah memenuhi tugas islamnya. Aku pikir dengan yakin saja bahwa islam mereka sudah sempurna. Mereka memang bernasib baik dan selalu baik dalam mengatur keuangan mereka. Mereka jelas tidak merokok dan suka menabung. Di antara mereka, suami istri sama-sama bekerja. Uang sertifikasi yang mereka utuh menjadi tabungan yang bisa dimanfaatkan. Bukan hanya itu barangkali. Mereka pasti sudah berniat baik untuk benar-benar ikhlas menjalankannya.

8fa25ef79662a7583f3d72cda36004f5Aku memang guru yang ketinggalan zaman. Tidak mau mengupdate status keimanan dan terus berburu kebaikan seperti mereka yang selalu mengumandangkan pentingnya “fastabiqul khoirot”. Aku selalu berpikiran apa adanya. Tidak ada istimewanya. Sukses menjadi guru, dalam pikiran dan perasaan, hanya sebatas berbuat sebaik mungkin pada aktivitas mengajar dan menulis di blog yang “kurang ajar”. Kalau mengambil istilah dari seorang teman yang sudah menjadi dosen, menulis itu perlu berpikir tentang sisi-sisi “produktif”. Aku ini sudah terlanjur memiliki sekitar 30 blog, yang kalau dilihat dari sisi-sisi produktivitasnya, aku belum belum bisa menghasilkan tambahan keuangan. Kalau ngeblog dan tidak menghasilkan apa-apa yang bisa membanggakan mungkin saja bisa dikatakan “rugi” yang besar. Tidak berburu uang dan kekayaan adalah sebagian kondisi yang menempel pada statusku sebagai guru. Aku tidak bisa menghindari hutang. Tambal sulam dalam masalah keuangan ini menjadi cerita yang berkepanjangan.

Belum pernah menjalankan ibadah haji pun aku masih bisa menghargai dan salut pada mereka yang pulang dari Mekah dan Madinah dengan menyandang predikat haji. Aku pikir ibadah menjadi “sakral”, dengan alasan aku belum bisa memenuhinya. Aku sangat ingin mendapatkan kesempatan yang mulia itu. Namun, aku harus berani berkaca diri. Ibadah ini hanya ditujukan kepada mereka yang beriman, dan mampu menjalaninya.

Nilai haji itu dianggap sukses kalau bisa “mabrur”. Sementara itu, meskipun sudah pergi menjalankan ibadah haji, sekali atau dua kalau, kalau tidak sukses selalu akan disebut “mardud”. Disebutkan, “Dan, tiada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga.” (HR Bukhari: 1683, Muslim: 1349). Nabi SAW bersabda, “Jihad yang paling utama bagi kamu (kaum perempuan) adalah haji mabrur.” (HR Bukhari).

Ibadah haji dinilai mabrur apabila memiliki beberapa kriteria sebagai berikut. Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata menghadap ridha Allah SWT. Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, yakni syarat, rukun, wajib, bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi.

Ketiga, biaya, baik untuk ibadah haji, biaya perjalanan, maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan, diperoleh dengan cara yang halal. Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.

Haji mabrur juga dicapai oleh orang yang melaksanakannya sesuai dengan syarat, wajib, dan rukunnya, dan saat melaksanakannya dia tidak melakukan kemaksiatan. Yang dimaksud dengan haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud.

Banyak ulama menyatakan ciri-ciri dari haji mabrur. Menurut para ulama, ciri yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat belajarnya, meningkat usahanya untuk keluarga, juga meningkat semangat pengajiannya. Hubungan dengan keluarganya dan semangat membina anak-anaknya untuk beribadah semakin meningkat setelah pulang dari ibadah haji.

Derajat kemabruran akan dicapai seorang jamaah apabila melaksanakan haji sesuai dengan aturan syariat yang memenuhi syarat dan rukunnya, serta mengerjakannya dengan ikhlas. Silahkan membaca republika.co.id

Ada cerita yang panjang tentang haji dan belum haji dalam pikiranku. Tetapi aku masih harus mengerjakan kewajiban sholat maghrib dulu. Dan, ternyata aku baru bisa terus melanjutkannya setelah pulang dari “bakti sosial” menjemput seorang tetangga.

Secara syar’i orang menjalankan ibadah haji dengan niatnya, pergi ke tanah haram di Mekah dan berziarah di Madinatul Munawarah. Ada niat, memakai baju ihram, tawaf, sya’i, wukuf di Arafah, melempar jumroh dan tahalul. Di sanalah, orang kembali lagi mempertegas syahadatnya bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan menganut sunnah nabinya. Di sana pula, orang kembali melihat bahwa derajat manusia itu sama. Pada mabrurnya ibadah haji, sekembali ke tanah air, jamaah haji berkewajiban menjaga nilai mabrur itu. Kemabli lagi dia menguatkan kesetaraan nilai manusia. Ibadah haji tidak dilihat sebagai prestise sehingga hanya kebanggaan saja yang dibawa pulang. Bukan karena haji lantas orang itu membeda-bedakan dirinya dengan mereka yang belum ada rejeki dan kesempatan menjalaninya. Bukan karena sudah tahalul, semua sifat jahat bisa kita sandang kembali.

Nilai ibadah haji juga bisa dimaknai simbolis dan kita mengambil makna hakikinya. Ini yang jarang dimengerti oleh orang islam. Hidup dan aktivitas menjalani hidup ini pun juga bermakna ibadah yang beratnya juga senilai dengan ibadah haji. Dalam pemikiran orang yang belum haji seperti aku, niatan untuk menyimak “wa la fusuko wa la jidala fil hajj” bisa juga menjadi nilai yang perlu diteruskan. Intinya, ibadah ini mengajarkan satu sikap damai yang perlu ditindaklanjuti. Kehidupan sehari-hari pun, kalau manusia itu bersikap reseh, dia berada dalam posisi “mardud” seperti mereka yang berhaji tapi tidak membawa keberkahannya ibadah. Aku sendiri pernah lancang berkata, “Bukan hajinya yang penting, tetapi bisa ngajeni atau menghormati itu yang lebih bermakna”. Alasan dari pernyataan itu, menurut apa yang aku yakini, adalah bahwa orang yang tidak bisa lagi menghargai orang lain hanya karena orang itu belum berhaji. Orang tidak dinilai berharga lagi terutama kalau tidak mau menghormat kepadanya.

Aku termasuk orang yang tidak bisa menyiapkan cukup keuangan guna berangkat haji sekarang ini. Apalagi, ada orang yang sudah bergelar haji akan tetapi telah sengaja dan berniat untuk “membusukkan” aku, dan tidak memberi kesempatan aku berkarya. Dari sekian banyak alasan yang terucap dia bilang, “Kamu kan tidak pernah haji!” Jadi guru yang aku sandang pada saat ini hanya statusnya saja. Ini yang jadi pikiranku sekarang. Kapan aku bisa menunaikan ibadah haji kalau bekerja saja sudah tidak dipercaya?

Selanjutnya, dengan mengambil makna pembelajaran hidupku sendiri, aku hanya akan kembalikan semua urusan hidup ini kepada yang “berkuasa” memberi kehidupan ini. Kalau memang aku diwajibkan ikhlas, sabar, tawakal dan istiqomah, persis seperti apa yang pernah aku dengar dari mereka yang berhati mulia dan mau memberikan nasehat, maka hanya mengingat Allah. Semua ini ada dalam kehendak dan kekuasaannya.

Aku percaya, ibadah haji adalah sebuah proses pencapaian, dan bukan hasil akhirnya. Dengan menulis ini aku berusaha melakukan sebuah proses pendekatan diri kepada ilahi robbi, Dzat yang maha mendengar dan paling bisa dipercaya. Aku berhaji dalam proses penulisan makna hidupku sendiri.

Tangan terbelenggu

Aku hanya mengikuti kata hati untuk menuliskan “tangan yang terbelenggu” di google search. Ini aku lakukan persis setelah geragapan bangun dari tidur. Rupanya aku habis mimpi. Aneh juga aku bisa bermimpi seperti mimpi yang baru saja aku alami. Mungkin ini pengaruh obsesiku yang tinggi untuk bisa kembali bekerja sebagai guru, mengajar di sekolah. Sekarang ini bulan Agustus, yang setahun yang lalu suasana hatiku tidak stabil akibat kehilangan pekerjaan dan juga kehilangan ibuku. Ibuku meninggal dunia pada waktu aku hampir tidak bisa disebut orang ‘waras’.

Suasana di warung kopi. Ada orang yang aku yakini  sebagai pembuat rekayasa kepindahan guru di kantor selama ini. Dia tipikal orang yang maunya selamat saja sendiri dan pencari muka. Aneh sekali kalau aku diajak ke warung kopi. Di sana dia meminta aku menandatangi surat tugas baru. Aku ini sempat marah sebab surat tugas itu hanya tipuan dan mau memukulnya. Dia sudah lari pergi jauh. Aku sudah tidak bisa lagi mengejarnya.

 

That’s it. Thanks.

Kadang. Eh, bukan hanya kadang, namun sering kali kita tidak pandai berterima kasih terhadap apa saja yang kita nikmati. Bisa saja kita memperolehnya sendiri, ataupun kalau seseorang berbaik hati untuk membantu kita dan menyebabkan kegembiraan dalam hidup kita. Dan, kita pintar sekali mengabaikan setiap nikmat yang ada dalam genggaman. Kita menganggap wajar datangnya nikmat itu, dan sudah mengagnggap lumrah saja keberhasilan hidup ini sebagai wajarnya matahari terbit dari timur dan terbenam di ufuk barat sana.

wp-image--1490644167Untuk diri sendiri, kita gak suka bersyukur dengan bilang, “That’s it. Thank!”  Berterima kepada diri sendiri jarang, kepada orang lain ogah. Dan kepada Tuhan kita sering lupa. Ada apa dengan kita? Begitu rupa keadaaan yang terjadi. Padahal, kalau kita ditimpa sedikit saja masalah hidup, kita berkeluh-kesah tak ada habisnya. Sedikit dinikmati. Kalau semakin besar yang harus benar-benar syukurnya. Bukti itu ada dalam kata-kata, sikap dan perbuatan.

Ilmu psikologi modern menyatakan kalau rasa terima kasih menjadi salah syarat orang bisa bahagia. Sementara itu, kalau kita membaca Al-Quran, rasa tidak puas dan ditambahi dengan iri dan dengki serta disambung dengan keluh kesah akan bisa merusak kebahagiaan. Tidak mungkin ada putusnya. Kesehatan hidup manusia itu ada pada pikiran dan perasaannya. Bahkan banyak penyakit jasmani juga ikut menggerogoti kalau kita tidak pernah memiliki pikiran yang tenang dan hati yang lapang. Persoalan hidup ini biasa saja. Ikhlas saja dalam perjalanan ini, kita akan bisa berbahagia.

That’s it. Thank. Sudah membaca tulisan saya.

Menggali potensi diri

Banyak sekali yang bisa kamu lakukan dalam hidup ini. Kamu bisa menjadi apa saja selama kamu berani mengusahakannya. You are what you think you are. Pikiranmu yang baik bisa membawamu ke arah suksesnya hidupmu. Kenali potensi yang kamu miliki. Selalu ada bakat terpendam yang belum sempat kamu kembangkan.

Banyaklah belajar kepada siapa saja. Kamu bisa belajar di rumah, di sekolah, di kampus atau bahkan di warung kopi. Banyaklah membaca agar pengetahuanmu bertambah. Dari sekian banyak orang yang kenal, kamu bisa menambah ilmu apa saja. Asahlah otakmu agar bisa berpikir kreatif.

Pilihlah olah raga apa yang kamu sukai. Carilah kelompok bermain yang memberikan manfaat bagi dirimu. Jangan sia-siakan waktumu. Ingat saja, waktu hidupmu terbatas. Raihlah prestasi selagi bisa.

Lupa diri sendiri

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik. (Al-Hasyr 18)

 

Adalah manusia, makhluk yang diciptakan dengan penuh salah. Ini cukup manusiawi. Dzat yang tidak pernah salah dan memiliki sifat kurang hanya Allah. Itulah perbedaan yang nyata dan sangat perlu dijadikan pelajaran dalam menjalni hidup di dunia. Sayangnya, sifat lupa selalu melekat pada diri manusia. Hanya rahmat dan hidayah Allah yang menyelamatkan manusia dari kebinasaan.

Nasehat ini yang diulas oleh khotib Jum’at ini.  Aku menyimak betul, apa yang membuat orang lupa kepada Allah padahal Dia adalah tuhan menciptakannya dan menciptakan seluruh alam semesta. Mereka dihinggapi sebuah penyakit hati yang berat–sombong. Inilah yang membuat iblis melanggar perintah Allah ketika diminta untuk menghormat kepada Nabi Adam. Merasa lebih baik dari makhluk lain yang sama-sama diciptakan Allah adalah satu pertanda kesombongan diri. Akibatnya sungguh berat, iblis dilaknat Allah sepanjang jaman dan kelak tempatnya hanya di neraka. Orang yang sombong tidak akan mencium baunya surga.

Lupa kepada Allah sama artinya mau melihat asal-usulnya. Karena paras yang rupawan, banyak manusia yang melupakan nikmat ketampanan berasal dari Allah. Dia tidak bersyukur. Lain lagi yang mendapat nikmat kekayaan, dia hanya menganggap bahwa semua hartanya bermula dari kerja kerasnya saja. Hidupnya hanya dicurahkan untuk urusan harta kekayaannya. Mereka yang menduduki jabatan bisa terlena dan melupakan Allah yang paling berkuasa atas segala sesuatu. Dan, sekian banyak lagi cara yang membuat manusia lupa kepada diri sendiri.

Melupakan Allah adalah suatu perbuatan orang-orang yang fasik. Mereka adalah orang yang berbuat kesalahan dan terus mengulanginya. Mereka selalu melanggar nasehat apapun yang diberikan. Mereka tidak mau memahami ayat-ayat Allah, kalaupun tahu tidak mau menjalaninya. Jalan hidup mereka tidak berpedoman Al-Qur’an dan Hadits.

Peringatan agar tidak bersikap seperti melupakan Allah ternyata ditujukan kepada orang-orang beriman. Sebagai orang beriman kita dilarang untuk meniru sikap, perasaan, pikiran dan  jalan hidup yang ditempuh oleh orang-orang fasik. Orang beriman tentu saja harus berbeda dengan mereka yang selalu bersikap permisif dan menghalalkan segala cara untuk mencari kesenangan diri sendiri. Contoh dalam kenyataan hidup sekarang sudah sangat banyak. Ada orang yang berani membayar berapa pun asal mendapat jabatan yang diinginkan. Nafsunya diperturutkan. Apakah dia ingat bahwa hal ini tidak dibenarkan agama?

Lupa dengan akhirat membuat mereka hanya menjalankan hidup untuk urusan duniawi.

Melawan Stress dan Depresi

Hidup ini merupakan sebuah perjalanan yang penuh konflik. Sebenarnya sangatlah wajar apabila manusia mengalami stress dan depresi pada saat ia menjalani hidupnya. Permasalahan hidup manusia begitu kompleknya, dan sering kali di luar jangkauan pikiran dan perasaannya sendiri. Manusia sendiri tidak selalu siap untuk menghadapi berbagai konflik hidup yang menyangkut diri sendiri, keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Secara naluriah, manusia selalu berharap untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup, bukan kesulitan.

Ternyata jalan kehidupan tidak pernah selalu mulus, tidak juga selalu berjalan sukses tanpa adanya hambatan. Dari sinilah sumber terjadinya stress dan depresi yang dialami manusia. Sedikit kita mengutip penjelasan tentang kedua istilah psikologi tersebut dari sumber Wikipedia. “Stres adalah suatu kondisi anda yang dinamis saat seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. Stress adalah beban rohani yang melebihi kemampuan maksimum rohani itu sendiri, sehingga perbuatan kurang terkontrol secara sehat.” Sementara itu, “Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu Gangguan Depresi.”

Kita bisa memahami sekarang, sebenarnya dua kondisi psikologis tersebut wajar saja terjadi pada kehidupan manusia. Adapun kondisi yang tidak wajar adalah ketika orang lain, yakni orang yang tidak mengalami gangguan psikologis itu, justru tidak memiliki empati sedikit pun untuk membantu dan justru menjadikan orang yang mendapatkan cobaan beban mental itu sebagai bahan olok-olokan. Tolok ukur kita menjadi waras atau tidak waras justru terletak pada kemampuan kita untuk menghilangkan pandangan negatif dari orang usil tersebut. Kita harus berjuang keras untuk membuktikan bahwa kita bisa selamat dari sangkaan dan tudingan yang tidak benar.

Tidak semua orang bersifat baik hati. Itulah kenyataan hidup yang perlu dimengerti. Kebanyakan orang bersifat mau menangnya sendiri. Kita harus berhati-hati dalam mengendalikan pikiran dan perasaan kita selama bergaul dengan banyak orang. Berhati-hatilah dengan orang bersikap jahil dan usil. Sikap mereka secara umumnya selalu bersendau-gurau dan tidak memahami perasaan atau pikiran orang lain. Kita wajib memiliki mata batin yang jeli terhadap orang-orang yang bersifat dan bersikap semacam itu. Memang sangat menyakitkan, ternyata mereka adalah teman dan sahabat kita sendiri. Bagaimana caranya kita melawan mereka? Tidak bisa tidak, kita harus bersikap teguh pada pendirian kita sendiri. Jagalah selalu perasaan dan pikiran kita agar tidak menjadi rusak dan sakit hati. Santai saja.

The Psychopathic Behaviors (via Ocean County Corruption Blog)

Everyone has problems related to the way they behave. We can be good or bad without noticing the facts about ourselves. But, sure, everything has its roots.

Behaviors Of The Psychopath From Robert D. Hare Phd. Sociopathy is a complex personality disorder. Sociopaths aka Psychopaths exhibit a wide variety of maladaptive behavior which makes the condition difficult to diagnose. Sociopathy is not one trait; it is a syndrome—a cluster of related symptoms. If you're dealing with a person who exhibits some of these traits, put your guard up. If that person shows many or all of these traits, get him or her out of your life … Read More

via Ocean County Corruption Blog