Inilah aku. Tidak lagi bangga dengan seragam yang aku pakai setiap hari. Baju setelan krem ini harus aku gunakan untuk menyenangkan dan menenangkan istriku. Mulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat aku harus pergi di pagi hari dan pulang sore hari seperti layaknya seorang pegawai negeri. Hari Sabtu, tidak seperti guru biasanya, sudah jadi pilihan kalau aku tidak usah pergi ke kantor. Setiap hari tugas utama bagiku adalah antar jemput anak-anak ke sekolah.

Apa artinya berseragam setiap hari? Aku memang seorang guru. Tetapi aku tidak lagi merasa perlu datang ke sekolah. Aku tidak bisa bangga lagi menyanyikan lagu galau seorang guru yang punya tas hitam dan bersepeda kumbang. Lagu “Umar Bakri” karya Iwan Fals itu bukan lagu favorit lagi. Aku tak bisa mendengar celoteh anak-anak sekolah di sekitarku. Seragam yang aku pakai hanya menyedihkan hati. Ini bukan mimpi. Aku sudah dijauhkan dari dunia sekolah. Ada polisi, kepala sekolah, pegawai sekolah, kepala kantor dan sekian banyak pejabat. Mereka merampas harga diri dan rasa bangga Umar Bakri dari hidupku. Hadir di sekolah pun tidak. Satu hal yang aku jalani hanya absen di hari dan sore hari. Ini sangat menyiksa batin.
Sebelum berangkat tadi, aku bilang sama istriku, “Aku ini mau kemana? Duduk di mana? Pulang jam berapa? Aku harus bagaimana?” Dia tahu persis perasaan hatiku. Sebagai seorang laki-laki yang berkeluarga, pikiran seperti itu wajar. Satu tanggung jawab yang tidak boleh lepas adalah berusaha mencari nafkah untuk keluarga. Aku sudah terlalu sering mengatakan hal ini kepadanya. Dia sangat memahami persoalan ini. Dia yakin aku tidak bersalah. Aku hanya korban fitnah dan kebencian. Meski sedih, dia selalu berusaha menguatkan hatiku. “Jangan dipikirkan. Terus saja menulis.” Aku berangkat dengan perasaan hati yang tidak menentu. Apa sajalah. Aku hanya berharap perasaan dan pikiran mantan anggota barisan Umar Bakri ini tidak usah galau dan bingung.
Aku memang tidak punya tempat lagi di sekolah. Absen pagi ini aku lakukan sebelum jam 7 pagi. Aku tidak boleh terlambat. Anak perempuanku yang masih sekolah kelas lima ada di belakangku. Dia pasti protes kalau aku tidak cepat-cepat dalam perjalanan. Kantor di Jl. Patimura itu aku masuki dulu. Masih sangat sepi. Beda keadaanya kalau di sekolah. Sekarang anakku sudah belajar bersama teman-temannya di kelas. Terserah aku bagaimana menggunakan waktu selama jam-jam kerja. Seperti biasa saja. Warung kopi adalah tempat yang lebih memberikan ruang yang tenang di hati dan inspirasi kali ini. Tujuan hidupku kali ini tidak banyak. Hanya satu. Aku harus menulis dan menulis. Aku memang bukan Umar Bakri. Mengajar di sekolah itu sebuah mimpi.

Aku memang bingung. Bagaimana tidak? Orang yang selalu dipanggil guru atau ustadz tetapi tidak mengajar. Mendekat ke sekolah tempat aku berdinas sesuai SK saja aku merasa berat. Mereka bilang aku tidak boleh ke sekolah itu. Kalau aku memaksa malah macam-macam penilaiannya. Kenapa tidak ada lagi celah untuk menyelesaikan masalah ini. Apa benar aku ini sudah tidak berguna apa-apa? Tidak mampu menunaikan tugas guru berarti memang bukan guru. Tapi aku masih harus berurusan dengan waktu hidupku. Aku masih hidup. Aku masih memiliki pikiran. Waras saja. Aku membiarkan tuduhan dan segala macamnya menjerat dan mengikat perasaan ini dalam nestapa. Semua prasangka mereka yang berkuasa itu sangat mengada-ada.
Ada banyak perubahan mindset dalam diriku. Hari demi hari yang aku jalani menjadi guru yang mulia bagiku. Aku tidak boleh mengabaikan hidup ini. Ada doa yang selalu aku bisikkan perlahan, “Ya Allah. Ya tuhanku. Limpahkan kepadaku hikmah dan beri tempat padaku bersama orang-orang yang sholeh. Berikanlah padaku kesempatan dan waktu untuk melihat pembuktian bahwa aku termasuk orang yang benar pada akhir ceritanya.” Ini doa nabi Ibrahim yang sempat diajarkan oleh orang tuaku. Berubahlah aku menjadi orang yang mau mengalah. Aku mengalahkan ego. Aku tidak boleh stress. Depresi dan frustasi sudah lari dari hatiku. Hidup ini menjalani saja. Percuma saja aku yang memiliki jiwa Umar Bakri ini tidak bisa mengatasi masalah dan ujian hidup ini. Aku sendiri sering memberi ujian pada anak-anak didik di sekolah. Seorang guru pun harus diuji sebagai sebuah pembuktian di sekolah alam yang lebih besar dari sekolah yang sering aku datangi.
Sempat, ada orang yang baik hati dan berempati melihat masalah yang aku hadapi ini. Dia bilang, “Bapak ini jiwanya sudah guru. Apapun masalahnya, semestinya bertempat di sekolah.” Itu dia. Aku juga merasa begitu. Sekarang apalagi. Perasaan rindu sekolah itu sangat kuat aku rasakan di hati. Tetapi aku tidak dalam posisi Id, atau orang yang sedang mencari jati diri dan membutuhkan empati. Aku sudah bisa bertahan dalam situasi berat ini. Ego sebagai hamba Allah saja yang aku perkuat. Guru bukan hanya sebuah jabatan bagiku. Aku hanya ingin melihat keluargaku bahagia. Aku ingin tampil sebagai ayah yang perkasa. Cobaan hidupku ini mengajari aku untuk menanjak ke satu tangga lagi, superego. Aku memang bukan Umar Bakri lagi. Ini bukan mimpi.
Ada sebuah anjuran. Aku diminta datang lagi ke kepala kantor agar masalah ini segera diselesaikan dengan lebih baik lagi. Ada lagi pernyataan orang kantor yang sempat juga bilang sama pemegang kekuasaan di kantor,”Itu pak. Anak itu biarkan balik ke sekolah. Jangan di kantor lagi. Biar tidak menyakitkan pandangan mata saja.” Aku hanya bilang sama orang kantor itu, “Bapak yang jadi kepalamu itu lucu. Lucu!”
Seorang kepala sekolah di tempat yang jauh di sana juga berempati. “Semua kejadian yang menimpa semua orang dalam hidup ini tidak akan terjadi kalau Allah tidak mau berkehendak.” Ini ibroh dalam hidup. Seorang guru pun harus tahan uji. Menjadi guru memang sudah suratan nasib. Kapan berhenti pun dituliskan dalam garis nasib. Apa aku harus protes dengan kehendak ilahi? Apalah apalah. Semua sudah terjadi begini.
Aku datang, aku melihat. Aku hidup, aku menjalani.