Subuh yang kudus, aku belum mandi

Wattaqullah. Besok itu hari Jum’at. Sudah pasti sekarang ini adalah malam harinya. Ini adalah kesmpatan bagi semua insan yang beriman untuk menyiapkan diri menyambut hari yang suci esok hari. Aku sering tahu, orang-orang melakukan acara tahlilan serta membaca surat Yasin. Aku juga membaca, bacaan yang disunahkan di antaranya juga termasuk AL-Mulk, Ar-Rahman dan Al-Waqi’ah. Disebutkan juga sunah membaca surat Al-Kahfi yang mendapatkan porsi tinggi dalam ritual amalanku sehari-hari. Semuanya belum aku jalani. Aku sendiri belum mandi.

Orang beriman itu takwanya kepada Allah saja. Bukannya takut kepada sesama manusia yang statusnya sesama hamba. Peringatan takwa, yang diucapkan khotib Jum’at, selalu akan ditambahi dengan nasehat “janganlah kalian mati kecuali dalam posisi berislam”. Islam itu jalan keselamatan yang ditempuh oleh semua orang yang mengaku beriman. Takwa kepada Allah berarti orang harus melakukan dan menganjurkan kebaikan hidup selamanya. Tidak pernah berhenti dalam usaha berbenah diri. Tidak banyak yang tahu kalau iman dan takwa itu letaknya ada di dalam dada. Bisa naik, dan bisa turun adalah hal yang biasa. Manusianya saja yang harus membuktikan perjuangannya untuk berada di jalan Allah. Salah satu caranya adalah dengan benar-benar menjaga hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik sesama manusia. Dalam kelanjutannya, muncul istilah ihsan. Ini berarti pembuktian dari semua amal perbuatan. Look at the way Allah teaches bayyinah kepada semua manusia.

 

Advertisement

Dia, yang terlalu banyak omongnya

Bagi orang dalam posisi seperti yang aku alami sekarang, dengan kesulitan hidup dan pekerjaan, banyak omongan justru akan bisa memperparah keadaan. Manusia di sana sini tidak bersimpati. Aku memilih banyak diamnya.

Ada orang yang sangat tidak bersimpati. Dia bahkan tidak peduli. Setahuku dia pula yang ikut memperparah keadaan dari persoalan kerja. Kok tahu? Secara diam-diam aku mulai meyakini apa yang aku katakan sekarang. Makanya, dari apa yang aku lihat adalah bagaimana dia mengumbar omongan. [Padahal, sewaktu jadi guru dulu aku juga banyak omongnya. Bedanya tipis untuk sekarang.]

Kita menjadi semakin peka dengan omongan, terutama ketika masalah bertubi-tubi dan tidak pernah juga kunjung tuntas. Salah satu contoh adalah kita menjadi peka dengan sikap orang lain. Omongannya juga. Apa saja yang ada di sekitar kita lantas menjadi tidak benar. Hati-hati kalau kondisi kejiwaaan semacam ini terjadi.

Tapi aku menyadari kalau situasi semacam ini terasa menyesakkan dada.

Aku Membaca dan Aku Berbagi

Ada untungnya kalau kita punya kesempatan untuk membaca. Dan, tidak semua orang berbudaya literasi yang baik sehingga bisa rutin menambah bacaannya dari waktu ke waktu–baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Dengan membaca kita menambahkan pundi-pundi pengetahuan dalam diri kita yang semoga bermanfaat kelak di lain waktu. Dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat itu kita bisa mengubah masa depan.

Pagi ini, aku sedikit beruntung membaca sebuah artikel tentang seks dan pengaruhnya pada motivasi kerja. Ini hasil sebuah penelitian. Ada efek positif yang bisa dimunculkan pada orang-orang yang memang sudah berkeluarga dan ‘berbudaya’ malam yang baik. Berikut ini yang sudah saya baca.

Work and sex aren’t typically promoted as being mutually beneficial, but new research is suggesting that combining the two, in a sense, could be the key to achieving strong work-life balance.

In a study published this month in the Journal of Management, researchers Christopher Barnes and Trevor Watkins of the University of Washington and David Wagner of the University of Oregon analyzed the work and sex habits of married employees and found that those who prioritized sex at home unintentionally gave themselves an advantage at work the following day. They were more likely to delve deeper into their tasks and even rejoice in their work environment.

“We make jokes about people having a ‘spring in their step,’ but it turns out this is actually a real thing and we should pay attention to it,” says Keith Leavitt, an associate professor in OSU’s College of Business, and an expert in organizational behavior and management. “Maintaining a healthy relationship that includes a healthy sex life will help employees stay happy and engaged in their work, which benefits the employees and the organizations they work for.”

For their findings, the researchers followed 159 married employees over the course of two weeks, asking them to complete two short surveys each day. The results revealed that those who had sex the night before reported a boost in mood that prompted an increase in job morale and productiveness. However, it was also found that those who brought work-related stress home had negatively impacted sex lives.

Sex serves as a natural mood booster because the act itself promotes the release of the feel-good hormone dopamine, which helps control the brain’s reward and pleasure centers, as well as oxytocin, which is widely referred to as the love hormone, and is linked to social bonding and attachment. Such hormone releases stay in effect for at least 24 hours, according to the study. And when taking into consideration marital satisfaction and sleep quality, which both alter daily mood, the researchers found that the effect is just as prevalent in men as it is in women.

“This is a reminder that sex has social, emotional, and physiological benefits, and it’s important to make it a priority,” Leavitt said. “Just make time for it.”

Though the Human Resources department won’t likely promote sex as a key to work-life balance, they can simply encourage employees to leave work at the office. “Making a more intentional effort to maintain a healthy sex life should be considered an issue of human sustainability, and as a result, a potential career advantage,” Leavitt said.

Reader Digest hari ini

Obrolan pagi ini memang menyangkut satu hal yang hangat kalau dibahas di depan kopi hangat di depan meja kita. Tawa dan canda akan terdengar dan meledak bersama-sama.

Mengembangkan budaya literasi

Membaca dan menulis adalah budaya masyarakat berpendidikan yang disebut literasi. Secara harfiah literasi diartikan sebagai kegiatan membaca dan menulis. Masyarakat yang memiliki budaya literasi tinggi selalu aktif mengambangkan diri menambah ilmu dengan membaca, kemudian rajin menyebarkan ilmunya, kalau tidak dengan diskusi mereka akan menuliskannya.

literasiBayangan saya kembali ke masa-masa ketika saya aktif di sekolah. Semestinya, guru itu rajin membaca buku, menulis dan mengajak siswanya untuk selalu rajin membaca serta menulis. Kapan saja dan di mana saja, pandangan banyak orang akan mengatakan kalau pasangan berbeda generasi itu pasti bergelut dengan buku. Aktivitas membaca dan juga menulis adalah dunia mereka. Pandangan umum itu bisa benar dan bisa salah. Aktivitas membaca dan menulis adalah aktivitas nyata yang masih selalu perlu terus dikembangkan.

Terutama pada guru, apabila mereka malas membaca dan menulis, apalagi siswanya. Apakah benar guru selalu rajin membaca? Bagaimana gambaran dari budaya membaca di kalangan guru? Apakah guru-guru kita juga rajin menulis? Bagaimana guru menulis dan memublikasikan tulisannya? Ini yang harus dipermasalahkan. Setelah itu barulah dengan komprehensif kita bisa melihat bagaimana para siswa diajari untuk membaca dan menulis sebagai sebuah kecintaan. Budaya literasi ini banyak dirasakan kurang menonjol sehingga muncul berbagai macam pola penggiat literasi di luar sekolah yang akhirnya juga bergerak masuk ke sekolah. Mereka kelompok-kelompok relawan.

Serius saya mengatakan, guru lebih banyak membaca buku-buku yang memuat materi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Waktu mereka juga tersita untuk segala macam persiapan mengajar. Itu saja sudah melelahkan. Kesempatan untuk membaca buku-buku lain, secara jujur, masih jauh dari harapan. Berdiskusi pun juga membahas tentang hasil bacaan mereka, mungkin belum waktunya dipertanyakan.

literasi siswaApakah guru-guru sudah terbiasa menulis? Menulis apa saja, baik yang bersifat ilmiah ataupun non-ilmiah. Saya rasa ini belum membudaya. Paling-paling, guru akan terlihat serius seperti “kejar tayang” kalau mempersiapkan makalah atau karya ilmiah sesaat mau kenaikan pangkat. Setelah itu pun terlupakan. Kegiatan menulis sehari-hari pada guru di dunia sekolah belum saatnya diacungi jempol. Ini sebuah refleksi yang perlu. Sadar atau tidak sadar, kondisi yang ada pada guru tersebut memberi pelajaran yang melekat pada siswa. Logikanya, kalau guru tidak biasa menulis mana pernah kita bisa mengharapkan siswanya rajin menulis. Guru yang harus mengawali satu perubahan dalam hal tulis menulis.

Berharap dengan kebaikan

“Apalah artinya dengan semua pencapaian yang ada? Kamu belum sekali pun membuktikan apa-apa. “

Hari ini sudah menjelang siang. Mulai dari pagi tadi saya lebih banyak membaca. Ada yang di telegram, twitter, facebook dan beberapa artikel atau malah buku-buku di google books. Saya mengalami monday syndrom yang membuat aku banyak berpikir mengapa dan untuk apa saja hari. Aku harus mencari kegiatan yang baik. Penting diingat, saya harus tetap di jalan kebaikan.

1550636991199067948Subhanallah. Saya masih harus terus memikirkan situasi yang sulit dan akut ini. Saya tak hadir ke sekolah, meskipun saat ini berseragam seperti seorang guru. Bismillah. Ini pikiran jahat sudah amat lama menggerogoti pikiran, dan mulai menyerang perasaan di dalam hati. Saya harus melawan. Saya tidak boleh sedih terus. Saya tahu beginilah cara setan bekerja dan mulai menjatuhkan mental. “I have to do something right.”

Kegiatan hari tidak mungkin jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Sebagai guru yang menganggur dan tak punya pekerjaaan, saya hanya bisa duduk-duduk di warung kopi untuk menghabiskan jam-jam dinas. Itu saja.

“Mau mengajar, Pak?” penjual rokok di MH. Thamrin itu sempat bertanya.

“Nggih!” Jawab saya sekenanya.

“Di mana? Di SMA mana?”

“Di sana?” Saya menunjukkan arah persis di sekolah saya. Saya malu berterus terang. Kemarin saja saya sudah cukup bercerita dengan orang yang tidak saya kenal. Terlalu terbuka respon saya untuk menjawab pertanyaan tentang pekerjaan ini. Kadang-kadang tanpa ada komando pikiranku mengajak perasaan gundah untuk mengumbar apa saja yang saya alami. Ini sudah tidak sehat.

Harapan yang baik itu perlu saya tuliskan saja. Saya ingin mereka menyadari betul apa yang sudah mereka lakukan kepada saya ini sangat tidak betul. Mereka sekarang ada di suatu tempat yang jauh di sana. Mudah-mudahan Allah mengingatkan mereka dengan cara yang dikehendaki Allah. Mereka harus menyadari bagaimana perasaan manusia yang dilemahkan dalam kehidupannya. Mereka haru mengerti apa dampaknya sebuah fitnah. Allah saja yang menolong dan menjadi pelindung untuk saya.

Tidak penting lagi terus-menerus meratapi nasib. Setiap hari adalah sebuah pintu yang membuka rahmat dan rejeki Allah. Bukankah, “innallaha ma’ana” sudah saya katakan? Perubahan ini diiringi niatan hijrah kepada Allah.

Kepencet. Secangkir kopi hitam lagi

Aku tidak mengerti. Kata ‘kepencet’ sudah sering muncul dalam update tulisan blog. Aku sendiri tidak tahu mau maksudnya apa. Aku terlalu sering mengambil satu kata dan berusaha mengembangkannya dalam sebuah tulisan.

Kopi hitam adalah kesukaanku. Setiap pagi, siang dan malam hari, selalu hadir di depanku. Gambar kopi hitam ini aku ambil di siang hari ketika aku mau berangkat memenuhi panggilan tugas. Apa sih tugasku setiap hari? Aku jadi ingat, aku bukan Umar Bakri lagi. Biasa. Aku berusaha menghibur diri. Pergi dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Baru pulang kalau sudah menjelang maghrib. Ini saja sudah sangat berarti. Dengan begitu aku sudah bisa melupakan masalah penat dan lelahnya perasaan di hati.

“Success is nothing more than a few simple disciplines practised every day” — Jim Rohn. Aku bisa mengatakan diriku sukses sebagai seorang penggemar kopi hitam. Aku mendapat nilai istimewa untuk masalah disiplin ngopi dan menulis setiap hari. Aku heran, temanku tidak suka mendengar kegiatan yang aku lakukan setiap hari. “Buat apa menulis, kalau hasilnya hanya dibaca-baca?” Kalau tulisan tidak dibaca? Malah percuma. Dia yakin dengan sanggahan yang dia coba tawarkan untuk mengusik satu kegemaran yang semakin profesional sejak “bapaknya” berhasil memukul jatuh harga diriku sebagai guru. Dia tahu ceritanya. Dia juga malah sempat akan ikut menganggap aku orang yang reseh. Menulis katanya tidak ada artinya. Kalau ngopi dia akur saja.

Halah. Semua jadi salah tafsir dan ikutan main justifikasi terhadap apa yang aku alami. Terus terang, aku tidak sedang berharap ada yang menawarkan sekeranjang ’empati’ dan berusaha menghibur aku. Semakin lama, sebenarnya orang banyak tahu hitam putihnya masalah yang sedang aku alami. Aku hanya tidak memiliki kekuasaan untuk mendapatkan hak keadilan dalam masalah dinas ini. Kalah kuasa, kata sebagian orang. Aku tahu, nasibku sehitam kopi yang aku gemari.

Aku yakin, menulis di blog seperti sekarang ini akan memberi arti suatu saat nanti. Tidak mungkin apa yang aku alami ini tidak berubah suatu saat nanti. Tidak mungkin juga mereka yang bersalah tidak mendapatkan balasan atas semua perbuatannya. Aku hanya sekedar menjalani hidup yang bukan mereka yang memberikan. Masa bodoh dengan semua fitnah mereka yang masih saja mengganggu kebahagiaan hidupku. Aku yakin itu di suatu saat nanti.

Secangkir kopi hitam memberi inspirasi dan aspirasi. Aku menulis sesuka hati. Bahasa yang pakai adalah cara berbahasa yang sudah sering aku akui kebenarannya. Menulis harus lugas dan jujur. Tidak usah berusaha menutup-nutupi apa saja yang tersimpan di hati. Masalah pertanggung-jawaban isi tulisan, aku saja yang akan mengurusi. Setiap satu kata, aku yakin, aku ingin selalu menitipkan bismillah dan doa agar Allah juga mau mengampuni. Aku juga berharap bahwa inilah jalan yang diridhoi.

Balik lagi. Pikiranku mengajak aku menikmati kopi hitam. Terbersit angan-angan, siapa yang hitam dan siapa yang putih dalam persoalan ‘pembunuhan karakter’ ini. Aku tidak peduli. Tetapi mereka bertiga sekarang menjalani ibadah haji? Apa betul ini bisa berarti kalau mereka yang sudah pasti benar! Mereka tentu bisa meminta ampun atas semua kesalahan mereka di sana nanti. Apa iya begitu? Apakah dipikir dengan beribadah haji, tuhan tidak mengerti apa saja yang terjadi di atas muka bumi ini? Apa tuhan bisa saja dikelabuhi dengan baju haji? Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Pikiran sampai sebegitu parahnya dalam beragama. Aku pasrah saja deh. Aku angkat tangan.

Tulisan ini aku tambahi di gelapnya malam, persis jam 2.50 dini hari. Allah yang sudah membangunkan aku. Alhamdulillah aku bisa sambung rasa dengan pelindung sekaligus Dzat yang selalu menguji nyali semua hambanya untuk berbakti. Malam gelap, tetapi hatiku tidak. Aku yakin setiap ketukan jariku ini ada yang mencatat dan mengawasi. Satu sentuhan saja ke tombol keyboard adalah doa. Aku selalu mengharapkan kebaikan dalam menjalani hidup ini. Ihdinas shirothol mustaqim, aku baca juga. Rupanya aku ini merupakan spesies manusia yang selalu berpikir dan berusaha menuliskan pikirannya dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan inilah jalan untuk mendapat kenikmatan hidup dunia dan akhirat. Semoga inilah jalan terbaik untuk meraih ampunan. Aku berharap juga semoga dengan menulis ini akan menjadi bukti, aku bukanlah orang yang akan mendapatkan murka Allah di hari perhitungan semua amalan manusia nanti.

Aku sudah mau mengakhiri tulisan ini. Dari kejauhan suara tarhim sudah terdengar. Di kamar sebelah, tempat istriku dan anak-anak sedang tidur, alarm sudah berbunyi. Aku akhiri dengan mengucapkan selamat pagi semua. Ila liqo’.

 

Melacak jejak perjalanan Umar Bakri 

Aku lanjutkan cerita tentang Umar Bakri yang hanya khusyuk di warung kopi. Pagi tadi dia menghentikan kegiatan menulisnya. Satu tulisan sudah cukup menguras pikiran. Di akhir duduknya, hari sudah menjelang siang. Dia berkemas-kemas untuk pergi.

Kemana tujuannya? Dia pastikan sepeda mio miliknya bisa mengarah ke sekolah. Itu sepeda motor yang baru setahun lalu dibelinya. Persis enam bulan setelah dia diusir oleh kepala dari sekolah yang sekarang akan didatanginya. Sekolah yang ini sudah mendapatkan kepala baru. Akan kepentingan finansial yang mendesak. Tidak usah mengajar, tetapi dia masih saja membutuhkan uang untuk biaya pendidikan anaknya. Istrinya berpesan untuk meminjam uang sebanyak lima juta rupiah. Pertemuan dengan bendahara koperasi dilakukan di perpustakaan sekolah.

Guru dan karyawan sekolah ini sangat tidak asing dengan kehadirannya. Semua tahu cerita yang terjadi pada Umar Bakri yang hanya statusnya saja sebagai guru bahasa Inggris. “Jangan ceritakan kepada siapa-siapa kalau aku pinjam uang di koperasi,” itu pesan Umar Bakri kepada bendahara koperasi. Mestinya memang tabu. Tapi maunya harus bagaimana lagi. Setelah urusan ini selesai, peminjam dan pemberi pinjaman ini pun sepakat ke warung kopi di sekolah. Ada kantin favorit yang selalu mereka tuju.

Obrolan warung kopi terjadi lagi. Beda dengan pagi harinya. Ini obrolan manusiawi. Dia masih bukan orang asing di sini. Umar Bakri ini berbalik lagi seperti aku sendiri. Hadir aku di sini sebagai orang yang diperlakukan tidak adil saja. Aku ceritakan kembali apa saja sempat aku ingat. Hampir semuanya. Kalau berada di sekolah, aku adalah aku.

Aku sudah menetapkan pikiran untuk mulai datang lagi dan datang lagi ke sekolah ini. Ada satu tujuan pasti dalam hatiku. Aku akan berperan sebagai seorang etnografer yang datang dan menemui orang-orang di tempat kejadian perkara atau tekape. Aku memang tidak dibolehkan datang ke sekolah ini oleh pihak kantor. Aku masih dihukum, katanya. Tetapi bagaimana aku bisa menulis dengan baik kalau aku tidak mengetahui pikiran dan perasaan teman-teman guru di sini. Dunia sekolah memang mencerahkan hati.

6dbcfc62bcc0a45c58d23beb62a69371

Allah SWT berfirman:

اللَّهِ الَّذِى لَهُ ۥ  مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْأَرْضِ  ۗ  وَوَيْلٌ لِّلْكٰفِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ

“Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Celakalah bagi orang yang ingkar kepada Tuhan karena siksaan yang sangat berat,”

(QS. Ibrahim 14: Ayat 2) Via Al-Qur’an Indonesia http://quran-id.com

Aku berusaha menyehatkan pikiran dan perasaan dalam menghadapi kasus Umar Bakri versi hidupku ini. Sudah banyak usaha yang aku lakukan untuk mendapatkan kembali profesi guruku. Aku tidak mau bingung menghadapi orang yang linglung pada saat memegang kekuasaan dalam masalah ini. Pencerahan di dalam diri sendiri, meskipun aku adalah seorang guru, masih sangat penting. Tidak ada Umar Bakri yang kehilangan jati dirinya. Guru tetap saja guru. Whatever it is.

Pada saat adzan berkumandang di masjid sekolah, aku ikut berjamaah sholat dhuhur. Ini sebuah budaya bersama di sekolah yang beda versinya kalau aku berada di kantor seperti beberapa bulan yang lalu. Surat Ibrahim menjadi inspirasi yang aku baca persis setelah jamaah sholat kembali ke kelasnya masing-masing.

If only I had some responsibility here, I would stay longer. Itu yang aku katakan kepada petugas perpustakaan sekolah. Aku berpamitan.

Bukan lagi seorang Umar Bakri

Inilah aku. Tidak lagi bangga dengan seragam yang aku pakai setiap hari. Baju setelan krem ini harus aku gunakan untuk menyenangkan dan menenangkan istriku. Mulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat aku harus pergi di pagi hari dan pulang sore hari seperti layaknya seorang pegawai negeri. Hari Sabtu, tidak seperti guru biasanya, sudah jadi pilihan kalau aku tidak usah pergi ke kantor. Setiap hari tugas utama bagiku adalah antar jemput anak-anak ke sekolah.

2d0fdbc5729b2b8f81d6b792d6648424

Apa artinya berseragam setiap hari? Aku memang seorang guru. Tetapi aku tidak lagi merasa perlu datang ke sekolah. Aku tidak bisa bangga lagi menyanyikan lagu galau seorang guru yang punya tas hitam dan bersepeda kumbang. Lagu “Umar Bakri” karya Iwan Fals itu bukan lagu favorit lagi. Aku tak bisa mendengar celoteh anak-anak sekolah di sekitarku. Seragam yang aku pakai hanya menyedihkan hati. Ini bukan mimpi. Aku sudah dijauhkan dari dunia sekolah. Ada polisi, kepala sekolah, pegawai sekolah, kepala kantor dan sekian banyak pejabat. Mereka merampas harga diri dan rasa bangga Umar Bakri dari hidupku. Hadir di sekolah pun tidak. Satu hal yang aku jalani hanya absen di hari dan sore hari. Ini sangat menyiksa batin.

Sebelum berangkat tadi, aku bilang sama istriku, “Aku ini mau kemana? Duduk di mana? Pulang jam berapa? Aku harus bagaimana?” Dia tahu persis perasaan hatiku. Sebagai seorang laki-laki yang berkeluarga, pikiran seperti itu wajar. Satu tanggung jawab yang tidak boleh lepas adalah berusaha mencari nafkah untuk keluarga. Aku sudah terlalu sering mengatakan hal ini kepadanya. Dia sangat memahami persoalan ini. Dia yakin aku tidak bersalah. Aku hanya korban fitnah dan kebencian. Meski sedih, dia selalu berusaha menguatkan hatiku. “Jangan dipikirkan. Terus saja menulis.” Aku berangkat dengan perasaan hati yang tidak menentu. Apa sajalah. Aku hanya berharap perasaan dan pikiran mantan anggota barisan Umar Bakri ini tidak usah galau dan bingung.

Aku memang tidak punya tempat lagi di sekolah. Absen pagi ini aku lakukan sebelum jam 7 pagi. Aku tidak boleh terlambat. Anak perempuanku yang masih sekolah kelas lima ada di belakangku. Dia pasti protes kalau aku tidak cepat-cepat dalam perjalanan. Kantor di Jl. Patimura itu aku masuki dulu. Masih sangat sepi. Beda keadaanya kalau di sekolah. Sekarang anakku sudah belajar bersama teman-temannya di kelas. Terserah aku bagaimana menggunakan waktu selama jam-jam kerja. Seperti biasa saja. Warung kopi adalah tempat yang lebih memberikan ruang yang tenang di hati dan inspirasi kali ini. Tujuan hidupku kali ini tidak banyak. Hanya satu. Aku harus menulis dan menulis. Aku memang bukan Umar Bakri. Mengajar di sekolah itu sebuah mimpi.

f2860afbdaf1e9dd04b7285a5be780c1

Aku memang bingung. Bagaimana tidak? Orang yang selalu dipanggil guru atau ustadz tetapi tidak mengajar. Mendekat ke sekolah tempat aku berdinas sesuai SK saja aku merasa berat. Mereka bilang aku tidak boleh ke sekolah itu. Kalau aku memaksa malah macam-macam penilaiannya. Kenapa tidak ada lagi celah untuk menyelesaikan masalah ini. Apa benar aku ini sudah tidak berguna apa-apa? Tidak mampu menunaikan tugas guru berarti memang bukan guru. Tapi aku masih harus berurusan dengan waktu hidupku. Aku masih hidup. Aku masih memiliki pikiran. Waras saja. Aku membiarkan tuduhan dan segala macamnya menjerat dan mengikat perasaan ini dalam nestapa. Semua prasangka mereka yang berkuasa itu sangat mengada-ada.

Ada banyak perubahan mindset dalam diriku. Hari demi hari yang aku jalani menjadi guru yang mulia bagiku. Aku tidak boleh mengabaikan hidup ini. Ada doa yang selalu aku bisikkan perlahan, “Ya Allah. Ya tuhanku. Limpahkan kepadaku hikmah dan beri tempat padaku bersama orang-orang yang sholeh. Berikanlah padaku kesempatan dan waktu untuk melihat pembuktian bahwa aku termasuk orang yang benar pada akhir ceritanya.” Ini doa nabi Ibrahim yang sempat diajarkan oleh orang tuaku. Berubahlah aku menjadi orang yang mau mengalah. Aku mengalahkan ego. Aku tidak boleh stress. Depresi dan frustasi sudah lari dari hatiku. Hidup ini menjalani saja. Percuma saja aku yang memiliki jiwa Umar Bakri ini tidak bisa mengatasi masalah dan ujian hidup ini. Aku sendiri sering memberi ujian pada anak-anak didik di sekolah. Seorang guru pun harus diuji sebagai sebuah pembuktian di sekolah alam yang lebih besar dari sekolah yang sering aku datangi.

Sempat, ada orang yang baik hati dan berempati melihat masalah yang aku hadapi ini. Dia bilang, “Bapak ini jiwanya sudah guru. Apapun masalahnya, semestinya bertempat di sekolah.” Itu dia. Aku juga merasa begitu. Sekarang apalagi. Perasaan rindu sekolah itu sangat kuat aku rasakan di hati. Tetapi aku tidak dalam posisi Id, atau orang yang sedang mencari jati diri dan membutuhkan empati. Aku sudah bisa bertahan dalam situasi berat ini. Ego sebagai hamba Allah saja yang aku perkuat. Guru bukan hanya sebuah jabatan bagiku. Aku hanya ingin melihat keluargaku bahagia. Aku ingin tampil sebagai ayah yang perkasa. Cobaan hidupku ini mengajari aku untuk menanjak ke satu tangga lagi, superego. Aku memang bukan Umar Bakri lagi. Ini bukan mimpi.

Ada sebuah anjuran. Aku diminta datang lagi ke kepala kantor agar masalah ini segera diselesaikan dengan lebih baik lagi. Ada lagi pernyataan orang kantor yang sempat juga bilang sama pemegang kekuasaan di kantor,”Itu pak. Anak itu biarkan balik ke sekolah. Jangan di kantor lagi. Biar tidak menyakitkan pandangan mata saja.” Aku hanya bilang sama orang kantor itu, “Bapak yang jadi kepalamu itu lucu. Lucu!”

Seorang kepala sekolah di tempat yang jauh di sana juga berempati. “Semua kejadian yang menimpa semua orang dalam hidup ini tidak akan terjadi kalau Allah tidak mau berkehendak.” Ini ibroh dalam hidup. Seorang guru pun harus tahan uji. Menjadi guru memang sudah suratan nasib. Kapan berhenti pun dituliskan dalam garis nasib. Apa aku harus protes dengan kehendak ilahi? Apalah apalah. Semua sudah terjadi begini.

Aku datang, aku melihat. Aku hidup, aku menjalani.

 

Kata “sabar” di mataku

Cinta itu luar biasa. Kalau kita mencintai Allah, tahulah semuanya kalau kita diperintah sabar dalam menjalani hidup di dunia. Aku termasuk orang yang sedang belajar tahu dan mengerti apa makna sabar yang sesungguhnya. Tidak dengan kata-kata. Sabar itu sebuah kata yang banyak diucapkan orang. Meskipun begitu, aku masih tetap saja belum tuntas dalam belajar sabar.

Sabar itu sikapnya. Benar atau tidak sikap kita selama ini? Hidup ini penuh dengan ujian yang diberikan dengan banyak bentuknya. Suatu saat kita mendapat kemudahan dalam mencari rejeki. Di saat lain, kita seperti menemui jalan buntu. Tidak ada celah bagi kita untuk mendapatkan rejeki sesuai dengan angan-angan kita. Sering kali kita merasakan mudahnya melakukan pekerjaan atau belajar. Ada kalanya kita merasa pikiran beku. Tidak ada yang mudah dalam hidup ini. Itulah yang akhirnya kita percaya. Belajar dari kenyataan hidup semacam inilah yang perlu dilakukan. Setiap detik kita berpikir. Kita harus memecahkan masalah dalam pikiran dan perasaan kita. Sabar itu diawali mulai dari dalam diri sendiri. Apakah sikap kita menunjukkan sikap tenang dan tidak sedang buru-buru? Apakah kata-kata kita halus dan santun? Apakah pikiran kita masih cerdas? Apakah kita merasa bahagia? Fakta yang menjawabnya.

Marah adalah tanda tidak sabar. Galau pasti bukan sabar namanya. Perasan yang resah dan gelisah, sepertinya kita sedang lupa sesuatu, menjadi kondisi pasti kalau pelajaran sabar belum merasuk di dalam pribadi. Orang yang terburu-buru dalam menetapkan suatu keputusan tidak termasuk sabar, sering kali menyesal di akhirnya.

Sabar itu harus terbukti dalam perbuatan. Karena hidup sukses selalu direncanakan, maka sabar harus menjadi bekalnya. Kesulitan dan masalah bisa diatasi. Tidak ada yang tidak mungkin. Sabar menunggu waktunya. Menahan diri tidak ‘menyembah’ emosi juga menjadi syarat sebuah kesabaran. Tidak cepat berprasangka. Jangan terlalu dipercaya pada satu pikiran yang berkelebat dengan cepat di kepala. Sabar itu bisa menunggu.

Bukti kesabaran ada di ketegasan sikap dan keuletan untuk berjuang. Keberhasilan itu jarang muncul dengan mudahnya. “Easy come, easy go!” Itu peribahasa yang berkaitan dengan nasehat kesabaran. Sukses yang sebenarnya selalu penuh tantangan. Apakah kita mau melepaskan asa dan harapan yang kita miliki dalam hidup ini? Buktikan kalau memang mau! Tugas utama kita adalah hidup yang lebih baik.

Aku mengerti arti kata sabar. Aku hanya mau membuktikan sabar itu dalam pikiran, perasaan, kata-kata, sikap dan amal perbuatan. There will be a real time for me to really be proud of what I take. Jangan heran kalau aku memakai bahasa Inggris. Aku sabar selama aku belajar. Aku tidak pernah mengatakan tidak bisa. Aku bisa sabar.

015
Be patient in everything you do. You are the winner.

 

Dia mengatakan istiqomah

Orang sering merasa pintar. Karena pintar, apalagi dia  berkuasa, nasehat apa saja bisa keluar dari mulutnya untuk memberi masukan kepada orang lain agar mau melakukan hal-hal yang sulit. Ini di luar kewajaran. Orang pintar itu kata-katanya luar biasa.

Kata istiqomah berarti tetap pada pendiriannya. Suatu saat istiqomah bisa dimaksudkan untuk menggantikan konsisten dengan keadaan yang berlaku. Orang yang istiqomah mau menjalani apa saja yang sudah ditetapkannya baik karena sudah dipikirkan, sudah dikatakan, atau sudah dituliskan sebagai pernyataan pribadi. Istiqomah agak berbeda dengan taat dan patuh. Kalau mau membandingkan, istiqomah lebih dekat dan sepadan juga berkonotasi setia. Selebihnya, orang yang beristiqomah berarti sedang menempuh suatu jalan lurus serta tetap menjalaninya sekuat tenaga dan pikirannya.

Mengapa istiqomah itu penting? Sebuah ikrar tanpa pembuktian itu sia-sia. Sikap diri, pikiran dan perbuatan orang menempuh jalan kebenaran harus sejalan. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun. Iman, misalnya, selalu bersambung dengan kata istiqomah. Dengan menyatakan diri beriman kepada Allah, maka orang beriman mau tidak mau memiliki sekian banyak kewajiban yang harus dijalani dan larangan yang dihindari. Nilai iman seseorang bergantung pada sikap dan kemauan kuatnya untuk hal ini.

Masalah hidup sehari-hari sangat erat kaitannya dengan urusan beragama. Namun, hukum dan aturan yang dibuat dan dijalani manusia sering kali tidak sejalan dengan agama apa yang dipeluknya. Peraturan manusia bisa saja salah dan tidak adil. Rasa dan pikiran manusiawi yang bergaris lurus dengan hati nurani menjadi tolok ukurnya. Dari sini, penggunaan istilah istiqomah hanya meminjam dari istilah dalam beragama. Niat untuk meminjam kata istiqomah pada dasarnya adalah usaha menakut-nakuti pihak yang diberi nasehat atau perintah. Taat menjalankan perintah atasan sangat berbeda dengan ketaatan beragama.

013