“Apalah artinya dengan semua pencapaian yang ada? Kamu belum sekali pun membuktikan apa-apa. “
Hari ini sudah menjelang siang. Mulai dari pagi tadi saya lebih banyak membaca. Ada yang di telegram, twitter, facebook dan beberapa artikel atau malah buku-buku di google books. Saya mengalami monday syndrom yang membuat aku banyak berpikir mengapa dan untuk apa saja hari. Aku harus mencari kegiatan yang baik. Penting diingat, saya harus tetap di jalan kebaikan.
Subhanallah. Saya masih harus terus memikirkan situasi yang sulit dan akut ini. Saya tak hadir ke sekolah, meskipun saat ini berseragam seperti seorang guru. Bismillah. Ini pikiran jahat sudah amat lama menggerogoti pikiran, dan mulai menyerang perasaan di dalam hati. Saya harus melawan. Saya tidak boleh sedih terus. Saya tahu beginilah cara setan bekerja dan mulai menjatuhkan mental. “I have to do something right.”
Kegiatan hari tidak mungkin jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Sebagai guru yang menganggur dan tak punya pekerjaaan, saya hanya bisa duduk-duduk di warung kopi untuk menghabiskan jam-jam dinas. Itu saja.
“Mau mengajar, Pak?” penjual rokok di MH. Thamrin itu sempat bertanya.
“Nggih!” Jawab saya sekenanya.
“Di mana? Di SMA mana?”
“Di sana?” Saya menunjukkan arah persis di sekolah saya. Saya malu berterus terang. Kemarin saja saya sudah cukup bercerita dengan orang yang tidak saya kenal. Terlalu terbuka respon saya untuk menjawab pertanyaan tentang pekerjaan ini. Kadang-kadang tanpa ada komando pikiranku mengajak perasaan gundah untuk mengumbar apa saja yang saya alami. Ini sudah tidak sehat.
Harapan yang baik itu perlu saya tuliskan saja. Saya ingin mereka menyadari betul apa yang sudah mereka lakukan kepada saya ini sangat tidak betul. Mereka sekarang ada di suatu tempat yang jauh di sana. Mudah-mudahan Allah mengingatkan mereka dengan cara yang dikehendaki Allah. Mereka harus menyadari bagaimana perasaan manusia yang dilemahkan dalam kehidupannya. Mereka haru mengerti apa dampaknya sebuah fitnah. Allah saja yang menolong dan menjadi pelindung untuk saya.
Tidak penting lagi terus-menerus meratapi nasib. Setiap hari adalah sebuah pintu yang membuka rahmat dan rejeki Allah. Bukankah, “innallaha ma’ana” sudah saya katakan? Perubahan ini diiringi niatan hijrah kepada Allah.