Kepencet. Secangkir kopi hitam lagi

Aku tidak mengerti. Kata ‘kepencet’ sudah sering muncul dalam update tulisan blog. Aku sendiri tidak tahu mau maksudnya apa. Aku terlalu sering mengambil satu kata dan berusaha mengembangkannya dalam sebuah tulisan.

Kopi hitam adalah kesukaanku. Setiap pagi, siang dan malam hari, selalu hadir di depanku. Gambar kopi hitam ini aku ambil di siang hari ketika aku mau berangkat memenuhi panggilan tugas. Apa sih tugasku setiap hari? Aku jadi ingat, aku bukan Umar Bakri lagi. Biasa. Aku berusaha menghibur diri. Pergi dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Baru pulang kalau sudah menjelang maghrib. Ini saja sudah sangat berarti. Dengan begitu aku sudah bisa melupakan masalah penat dan lelahnya perasaan di hati.

“Success is nothing more than a few simple disciplines practised every day” — Jim Rohn. Aku bisa mengatakan diriku sukses sebagai seorang penggemar kopi hitam. Aku mendapat nilai istimewa untuk masalah disiplin ngopi dan menulis setiap hari. Aku heran, temanku tidak suka mendengar kegiatan yang aku lakukan setiap hari. “Buat apa menulis, kalau hasilnya hanya dibaca-baca?” Kalau tulisan tidak dibaca? Malah percuma. Dia yakin dengan sanggahan yang dia coba tawarkan untuk mengusik satu kegemaran yang semakin profesional sejak “bapaknya” berhasil memukul jatuh harga diriku sebagai guru. Dia tahu ceritanya. Dia juga malah sempat akan ikut menganggap aku orang yang reseh. Menulis katanya tidak ada artinya. Kalau ngopi dia akur saja.

Halah. Semua jadi salah tafsir dan ikutan main justifikasi terhadap apa yang aku alami. Terus terang, aku tidak sedang berharap ada yang menawarkan sekeranjang ’empati’ dan berusaha menghibur aku. Semakin lama, sebenarnya orang banyak tahu hitam putihnya masalah yang sedang aku alami. Aku hanya tidak memiliki kekuasaan untuk mendapatkan hak keadilan dalam masalah dinas ini. Kalah kuasa, kata sebagian orang. Aku tahu, nasibku sehitam kopi yang aku gemari.

Aku yakin, menulis di blog seperti sekarang ini akan memberi arti suatu saat nanti. Tidak mungkin apa yang aku alami ini tidak berubah suatu saat nanti. Tidak mungkin juga mereka yang bersalah tidak mendapatkan balasan atas semua perbuatannya. Aku hanya sekedar menjalani hidup yang bukan mereka yang memberikan. Masa bodoh dengan semua fitnah mereka yang masih saja mengganggu kebahagiaan hidupku. Aku yakin itu di suatu saat nanti.

Secangkir kopi hitam memberi inspirasi dan aspirasi. Aku menulis sesuka hati. Bahasa yang pakai adalah cara berbahasa yang sudah sering aku akui kebenarannya. Menulis harus lugas dan jujur. Tidak usah berusaha menutup-nutupi apa saja yang tersimpan di hati. Masalah pertanggung-jawaban isi tulisan, aku saja yang akan mengurusi. Setiap satu kata, aku yakin, aku ingin selalu menitipkan bismillah dan doa agar Allah juga mau mengampuni. Aku juga berharap bahwa inilah jalan yang diridhoi.

Balik lagi. Pikiranku mengajak aku menikmati kopi hitam. Terbersit angan-angan, siapa yang hitam dan siapa yang putih dalam persoalan ‘pembunuhan karakter’ ini. Aku tidak peduli. Tetapi mereka bertiga sekarang menjalani ibadah haji? Apa betul ini bisa berarti kalau mereka yang sudah pasti benar! Mereka tentu bisa meminta ampun atas semua kesalahan mereka di sana nanti. Apa iya begitu? Apakah dipikir dengan beribadah haji, tuhan tidak mengerti apa saja yang terjadi di atas muka bumi ini? Apa tuhan bisa saja dikelabuhi dengan baju haji? Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Pikiran sampai sebegitu parahnya dalam beragama. Aku pasrah saja deh. Aku angkat tangan.

Tulisan ini aku tambahi di gelapnya malam, persis jam 2.50 dini hari. Allah yang sudah membangunkan aku. Alhamdulillah aku bisa sambung rasa dengan pelindung sekaligus Dzat yang selalu menguji nyali semua hambanya untuk berbakti. Malam gelap, tetapi hatiku tidak. Aku yakin setiap ketukan jariku ini ada yang mencatat dan mengawasi. Satu sentuhan saja ke tombol keyboard adalah doa. Aku selalu mengharapkan kebaikan dalam menjalani hidup ini. Ihdinas shirothol mustaqim, aku baca juga. Rupanya aku ini merupakan spesies manusia yang selalu berpikir dan berusaha menuliskan pikirannya dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan inilah jalan untuk mendapat kenikmatan hidup dunia dan akhirat. Semoga inilah jalan terbaik untuk meraih ampunan. Aku berharap juga semoga dengan menulis ini akan menjadi bukti, aku bukanlah orang yang akan mendapatkan murka Allah di hari perhitungan semua amalan manusia nanti.

Aku sudah mau mengakhiri tulisan ini. Dari kejauhan suara tarhim sudah terdengar. Di kamar sebelah, tempat istriku dan anak-anak sedang tidur, alarm sudah berbunyi. Aku akhiri dengan mengucapkan selamat pagi semua. Ila liqo’.

 

Advertisement

Author: Kopi Hitam

"True enrichment does not come through possessing a lot of wealth, but true enrichment is the enrichment of the soul." (Saheeh Al-Bukhari)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: