Aku lanjutkan cerita tentang Umar Bakri yang hanya khusyuk di warung kopi. Pagi tadi dia menghentikan kegiatan menulisnya. Satu tulisan sudah cukup menguras pikiran. Di akhir duduknya, hari sudah menjelang siang. Dia berkemas-kemas untuk pergi.
Kemana tujuannya? Dia pastikan sepeda mio miliknya bisa mengarah ke sekolah. Itu sepeda motor yang baru setahun lalu dibelinya. Persis enam bulan setelah dia diusir oleh kepala dari sekolah yang sekarang akan didatanginya. Sekolah yang ini sudah mendapatkan kepala baru. Akan kepentingan finansial yang mendesak. Tidak usah mengajar, tetapi dia masih saja membutuhkan uang untuk biaya pendidikan anaknya. Istrinya berpesan untuk meminjam uang sebanyak lima juta rupiah. Pertemuan dengan bendahara koperasi dilakukan di perpustakaan sekolah.
Guru dan karyawan sekolah ini sangat tidak asing dengan kehadirannya. Semua tahu cerita yang terjadi pada Umar Bakri yang hanya statusnya saja sebagai guru bahasa Inggris. “Jangan ceritakan kepada siapa-siapa kalau aku pinjam uang di koperasi,” itu pesan Umar Bakri kepada bendahara koperasi. Mestinya memang tabu. Tapi maunya harus bagaimana lagi. Setelah urusan ini selesai, peminjam dan pemberi pinjaman ini pun sepakat ke warung kopi di sekolah. Ada kantin favorit yang selalu mereka tuju.
Obrolan warung kopi terjadi lagi. Beda dengan pagi harinya. Ini obrolan manusiawi. Dia masih bukan orang asing di sini. Umar Bakri ini berbalik lagi seperti aku sendiri. Hadir aku di sini sebagai orang yang diperlakukan tidak adil saja. Aku ceritakan kembali apa saja sempat aku ingat. Hampir semuanya. Kalau berada di sekolah, aku adalah aku.
Aku sudah menetapkan pikiran untuk mulai datang lagi dan datang lagi ke sekolah ini. Ada satu tujuan pasti dalam hatiku. Aku akan berperan sebagai seorang etnografer yang datang dan menemui orang-orang di tempat kejadian perkara atau tekape. Aku memang tidak dibolehkan datang ke sekolah ini oleh pihak kantor. Aku masih dihukum, katanya. Tetapi bagaimana aku bisa menulis dengan baik kalau aku tidak mengetahui pikiran dan perasaan teman-teman guru di sini. Dunia sekolah memang mencerahkan hati.
Allah SWT berfirman:
اللَّهِ الَّذِى لَهُ ۥ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْأَرْضِ ۗ وَوَيْلٌ لِّلْكٰفِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ
“Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Celakalah bagi orang yang ingkar kepada Tuhan karena siksaan yang sangat berat,”
(QS. Ibrahim 14: Ayat 2) Via Al-Qur’an Indonesia http://quran-id.com
Aku berusaha menyehatkan pikiran dan perasaan dalam menghadapi kasus Umar Bakri versi hidupku ini. Sudah banyak usaha yang aku lakukan untuk mendapatkan kembali profesi guruku. Aku tidak mau bingung menghadapi orang yang linglung pada saat memegang kekuasaan dalam masalah ini. Pencerahan di dalam diri sendiri, meskipun aku adalah seorang guru, masih sangat penting. Tidak ada Umar Bakri yang kehilangan jati dirinya. Guru tetap saja guru. Whatever it is.
Pada saat adzan berkumandang di masjid sekolah, aku ikut berjamaah sholat dhuhur. Ini sebuah budaya bersama di sekolah yang beda versinya kalau aku berada di kantor seperti beberapa bulan yang lalu. Surat Ibrahim menjadi inspirasi yang aku baca persis setelah jamaah sholat kembali ke kelasnya masing-masing.
If only I had some responsibility here, I would stay longer. Itu yang aku katakan kepada petugas perpustakaan sekolah. Aku berpamitan.