Biarlah judulnya begitu saja. Kalau merasa terjebak, jangan berhenti membaca. Sesekali perlu dicoba untuk menyajikan gado-gado bahasa.
Perkara yang ingin saya tuliskan di sini terkait dengan Bapak Ketua RT. Dibilang sakit, ternyata biasa-biasa saja. Dibilang sehat, seluruh kampung ikut merasakan betapa beratnya demam–perasaan panas dan dingin, kalau warga berdekatan dengan Pak RT. Banyak kejadian aneh selama Pak RT menjabat dalam satu tahun ini. Meski selalu hingar bingar, perasaan hilang selalu ada.
Pak RT aalah seorang pemimpin dadakan dari kampung sebelah sana. Dia datang begitu saja, mengumpulkan seluruh warga, dan menunjukkan SK sebagai pejabat RT yang ditandatangani Ketua RW, atas rekomendasi Kepala Desa. Saat itu warga memang berniat untuk berkumpul, memilih dan memiliki seorang Ketua RT. Pejabat yang lama sudah habis masanya, sudah waktunya pensiun. Lantaran sudah ada orang yang memegang SK Ketua RT, mereka tidak melanjutkan pertemuan warga dan menerima begitu saja maklumat dari pendatang yang berSK dan berani tampail dengan sikap siap dan mumpuni.
Ketua RT memang bukan jabatan politik. Banyak warga yang merasa enggan untuk menerima amanah sebagai ketua RT. Persoalannya, selain tidak diberi upah, caci maki warga kerap nyasar ke rumah pejabat setingkat ketua RT apabila terjadi keributan antar warga. Urusan tetk bengek di kampung juga selalu melibatkan Pak RT. Bahkan ada urusan sepele saja, Pak RT bisa diseret ke sana sini. Repot kalau menjadi pejabat itu!
Asro siap menjadi Pak RT dengan jalan invasi ke kampung sebelah. Soalnya dia sendiri sudah tidak dipercayai orang di kampungnya sendiri. Hubungan dia dengan warga kampungnya sendiri bisa dibilang dalam kondisi gawat darurat. Obsesi dirinya dalah bebas dari perasaan mencekam dan membalas dendam kepada mereka yang sudah menyakitinya. Itu sebabnya dia memilih sikap tegas—membayar Pak RW untuk membuatkan SK sebagai pejabat RT di kampung Ndodol itu. Dia memilih mengetuai RT yang warganya bingung dan bisa mendapat pemimpin dari lingkungan mereka sendiri.
Awal perjalanan menjadi ketua RT bagi Asro sangat mulus. Beberapa warga yang peduli dengan pejabat ini segera mendekatinya sampai lengket, dengan memberikan masukan-masukan yang perlu—entah untuk seluruh warga atau sementara hanya nyamper kepada yang memberi masukan. Masukan demi masukan direkam baik-baik karena Asro, yang sekarang ketua RT, memiliki kecerdasan khusus seperti yang dimiliki oleh para spionase. Setelah dirasa cukup barulah Asro menentukan kebijakan-kebijakan di kampung yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dia penguasa dan seluruh warga adalah rakyat, yang juga boleh dibilang bawahannya. Kepentingannya dengan jabatan ini sangat besar, dan warga kampung diharapkan dengan ikhlas ikut dan menuruti semua aturannya.
Menjadi ketua RT adalah sumber kekayaan bagi Asro. Warga kampung tidak pernah menyadari masalah ini sebelumnya. Ketua RT yang dulu sepertinya tidak pernah menunjukkan kepiawaian seperti si Asro punya. Sebelum menjadi ketua RT, Asro sudah lama belajar melakukan bisnis kecil-kecilan, dan inilah yang melekat erat di dalam kepalanya. “Everything si business!” Sebuah moto pembelajaran seorang Asro yang tetap dibawanya selama hayat dikandung badan. Dengan moto inilah dia menjalankan kuasanya sebagai seorang ketua RT. Dan, nothing is free.
Seiring dengan perjalanan waktu, Asro sang ketua RT menjalankan tugas dan sedikit bisnis sampingan yang bisa dilakukan dengan posisinya sekarang. Dari sini orang-orang semakin mengenal siapa sebenarnya Asro, ketua RT mereka. Semuanya bisa merasakan apa saja yang perlu dirasakan. Mereka pun bisa melihat dan memberikan buktinya. Persoalan yang dulunya sama menjadi semakin jelas dan gamblang. Tidak ada yang perlu diragukan tentang Asro.